[FREE CHAPTER] Perempuan Sehabis Gelombang by Panji Pratama

The tragedy of modern war is that the young men die fighting each other – instead of their real enemies back home in the capitals.

Edward Abbey

Novel

Perempuan Sehabis Gelombang

Penulis

Panji Pratama

 

Editor

Dherdy

 

Desain Sampul & Tata Letak

Amaharani

 

Cetakan Pertama Juni 2019

 

Penerbit

UNSApress

Email: unsaku27@yahoo.com

Fanspage: Penerbit UNSA Press

i + 183 hlm. ; 14 cm x 20 cm

ISBN : 978-623-90658-2-9

 

 


Prolog

 

Suatu Pagi, 1599 M

 

Syahdan …

 

Jejak rembulan masih tampak saat itu. Pendar-pendar cahaya mulai menerangi sebagian geladak kapal para mafia palawija. Beberapa pekerja kapal yang pertama terlihat sibuk menaikkan peti-peti, yang berisi lada dan rempah-rempah hasil rampasan ke atas kapal mereka. Sementara, pemandangan hampir serupa terjadi di kapal penjajah yang kedua. Kedua kapal itu sebenarnya adalah kapal dagang, tapi sudah dilengkapi dengan artileri dan arsenal, layaknya kapal perang sungguhan.

Kemudian, kedua kapten kapal asing itu saling bercengkerama. Si kapten muda menawarkan seloki anggur kepada kapten kapal satunya untuk menghangatkan tubuh mereka. Terlihat sekali mereka menikmati pembicaraan selepas fajar itu. Sementara kedua orang Eropa itu saling melempar obrolan, angin mendadak sunyi pagi itu.

Di sudut pelabuhan, berkelebat bayang-bayang pekat secara serentak. Bayang-bayang yang tadinya menyatu, melerak seketika. Siluet itu pecah, serupa arang yang menyerpih. Meski tanpa sapuan angin, ujung-ujung jejukut yang bergoyang terkena ayunan langkah.

Pada hitungan tertentu, sudah tidak terdengar lagi suara gerak yang coba disembunyikan itu. Seolah-olah riuh arus bongkar muatan barang di pelabuhan itu serentak diliburkan.

Sambil terus mengendap-endap, salah seorang dari mereka mengangkat sebelah tangannya. Jemarinya dibuka lalu ditutup. Dia melilitkan sebuah serban hitam di sekitar wajahnya. Kecuali kedua matanya yang terbuka, tampilannya bak seorang ninja. Kepak cendrawasih seakan terejawantahkan dalam tiap lentikan bulu mata orang itu. Sungguh luar biasa indah sorotan mata itu, tapi misterius dan tegas.

Orang itu pasti perempuan; perempuan yang pagi itu menyimpan gelora ambisi yang hendak diluapkan.

Di dalam anjungan, navigator kapal penjajah yang pertama merasa ada yang tidak beres. Segera, dia melapor kepada para kapten.

Tiba-tiba, air di sekeliling kedua kapal yang sedang berhenti di tepi pantai itu berubah. Busa-busa air laut mengepul dan menjadi semakin banyak. Ombak yang menuju pantai menjadi lebih berbuih. Di 434 kilometer barat daya dari pelabuhan, dari arah laut dalam, sebuah gerak patahan bumi mendadak terjadi. Tepat pada pukul 07.38 pagi, sebuah gempa tektonik berskala sedang meluap, getarannya membuat sebagian awak kapal para penjajah panik. Sepersekian detik kemudian, kepanikan itu semakin mencekam.

Gempa itu seolah pertanda genderang perang. Setelah gubuk penyimpanan hasil pertanian reda dari getaran gempa, komandan pasukan penyerang memberi dua kode tangan secara bersamaan. Beberapa kelompok legiun yang juga kesemuanya perempuan segera bergerak. Sepasukan laskar lain mendadak datang dari arah laut. Puluhan Galey dengan moncong meriam siap menggempur sampan-sampan milik kapal-kapal penjajah itu.

Hanya di telinga mereka yang pernah menyaksikan gemuruh perang di hari fajar, suara lengkingan amarah ribuan perempuan penuh ambisi menyerang bersamaan.

Sangkur-sangkur mulai dibentangkan. Panji peperangan dikibarkan. Terompet penanda serangan menggaungkan ancaman. Letupan mortar dari armada laut Sang Komandan pasukan penyerang gencar menghabisi sisi kanan kedua kapal asing yang sedang bersauh itu. Walau di setiap kapal berbendera Belanda itu dilengkapi persenjataan dan artileri, gelora jihad para syuhada perempuan itu tak juga tertandingi.

Allahu Akbar … Alllahu Akbar … Allahu Akbar …” Takbir taslim mengiringi tiap ayunan pedang perempuan-perempuan perkasa.

***

 

“LALU, BAGAIMANA DENGAN nasib pasukan penyerang yang semuanya perempuan itu, Nek? Apakah mereka gugur?” ujar kakak perempuanku penuh tanya.

Aku masih ingat begitu senangnya dia akan cerita lampau itu. Aku melempar pandangan pada kedua wanita itu, terlihat sekali mereka begitu antusias, seolah-olah hanya ada mereka berdua saja di rumah reyot kami. Senyum keduanya serupa semerbak cempaka kuning di halaman, yang tiap hari mendamaikan para penghuni rumah.

Aku pura-pura mengantuk dan merebahkan badanku di belakang kakakku. Kuintip melalui celah pinggang kakakku, Nek Isah perlahan melipat keempat jari keriputnya. Lalu, telunjuknya ditempelkan di dada kiri kakakku. Dengan mata yang meneduhkan, kalimat Nenek waktu itu begitu menancap di ingatan kami.

“Semangat para syuhada perempuan itu masih hidup di dalam hati kita, perempuan-perempuan yang tidak kenal menyerah, cucuku!”(*)

 

 

Bab 1

Ketika Azan Berbunyi Dua Kali

 

 

Pulau Barat, 1974, petang hari

 

Pemuka agama sedang berkumpul di balai kampung, saat udara sore tiba-tiba basah. Gerimis dan lembayung menghinggapi lembah, seolah menambal jiwa-jiwa yang rindu.

Ustaz Malik Syah memimpin doa dengan takzim. Tetua lain mengikuti dengan kata serempak: aamiin. Sebait harap disampaikan dengan khidmat: semoga hasil panen pada akhir bulan nanti bisa mencukupi. Teriring rasa syukur mereka bahwa Tuhan telah menurunkan ketenteraman di Desa Matang Giwang. Di ujung lidah dan hati mereka, perasaan syukur lebih mendekatkan mereka dengan Sang Pemberi. Bagi mereka yang terlampau jauh dari kemeriahan dunia, sore setelah hujan adalah saat romantis untuk bercengkerama dengan Tuhan.

Wilayah Desa Matang Giwang terletak di antara perbatasan dua kabupaten. Tidak jauh dari desa kecil itu, mengalir sebuah sungai besar, berair jernih. Namanya Sungai Sekarwangi.

Sungai Sekarwangi sendiri konon menjadi salah satu sungai besar di seantero pulau. Panjangnya mencapai ratusan ribu meter. Sungai itu berhulu di Danau Air Tawar. Orang-orang pintar dari pulau seberang pernah bilang bahwa sungai itu mampu mengirim air ke daerah hilir sebanyak 5.664 liter per detik. Sungai ini menelusuri bukit terjal dan lembah. Termasuk pula melewati daerah Desa Matang Giwang, hingga akhirnya sampai Selat Asia di ujung Utara.

Sungai Sekarwangi bagai sahabat bagi warga sekitar sisi sungai. Sungai ini menyemai rezeki bagi warga; mulai dari sumber air bersih, sumber ikan, sumber energi listrik, sampai sumber irigasi. Meski dongeng Lembide, penjaga gaib Sungai Sekarwangi, melekat kuat di benak setiap warga sekitar.

Di pesisir Sungai Sekarwangi, rumah-rumah warga Desa Matang Giwang berjejeran menghadap sungai.

Di paling ujung kampung, ada sebuah gubuk beratapkan rumbia kering yang berbeda daripada rumah-rumah lain di kampung itu. Di keempat sudut rumah berukuran 4×4 meter, ditanam batu alam untuk menunjang rumah kayu di atasnya, sehingga rumah itu laksana rumah terbang kalau dilihat dari kejauhan. Halaman rumahnya menghadap langsung ke jalan hutan. Bunga-bunga cempaka kuning menghiasi kedua sisi tangga masuk rumah. Biasanya, aroma bunga-bunga itu menghibur tetamu yang berkunjung. Sayang, sore ini tidak begitu, bunga-bunga itu sedikit kuncup karena tertimpa air dari atap rumbia, seperti halnya dinding bilik rumah itu yang basah oleh cipratan hujan tadi siang.

Biasanya, para pelintas yang kebetulan melihat gubuk itu dari kejauhan selalu ingin menyapa sang pemilik. Ketika langkah pelintas tiba di depan pagar rumah itu, mereka sering lupa tujuan berjalan ke mana, apalagi saat Isah, sang pemilik rumah, menyapa dan mengajak singgah. Jadilah, rumah yang paling ujung ini sebagai gerbang singgah para warga, yang baru pulang bercocok tanam dari hutan. Namun tidak dengan sore itu, Isah tidak berada di beranda depan sebab cuaca menjadi begitu dingin setelah hujan.

Sebetulnya, Isah tidak tinggal sendirian. Di gubuk berdinding bilik sederhana itu, Isah dibantu putrinya, yang berumur empat belas. Di dusun itu, mereka dikenal sebagai si kembar karena kemiripan parasnya. Sang ayah sering bilang putrinya seperti jelmaan ibunya sewaktu muda.

Sejatinya, senyuman Kumalasari, si putri muda, membuat banyak pria merindukannya. Di umurnya yang baru lepas akil balig, Kumalasari begitu tersohor di Desa Matang Giwang. Banyak lelaki dewasa yang berniat mempersuntingnya menjadi istri. Semua itu karena kabar kecantikannya.

Gadis belia itu berkulit putih layaknya susu. Matanya berbinar terang, membiaskan warna biru. Rambutnya lebat agak kepirangan. Sekilas mirip bangsa Eropa. Raut wajahnya berbeda dengan keturunan warga lain yang Melayu.

Namun itu dulu, sebelum sang ayah meninggalkan rumah. Kini, Kumalasari tidak bisa lagi mendapat pujian itu. Kumalasari lebih senang jadi buruh ladang atau berdagang bersama sang ibu daripada mendengarkan penyesalan warga mengenai hidupnya yang tragis. Ya, keadaanlah yang membuat mental Kumalasari terbentuk kuat.

Kadang Isah sendiri bertanya-tanya apa sebetulnya pekerjaan suaminya. Sebagai perempuan kampung, dia tak berani mengungkapkan apa yang menurut adat tidak boleh dilakukan terhadap suami. Yang dia tahu adalah adat leluhur mengajarkannya untuk jadi istri yang patuh; membesarkan sang putri sesuai dengan pedoman kitab suci. Isah terima saja apa yang dulu dibawa suaminya pulang, walau sekadar umbi singkong. Lebih dari itu, Isah tetap tabah meski suami tercinta terlampau lama meninggalkan rumah untuk mencari rezeki.

“Jaga mamakmu ya, Mal … perempuan di negeri ini harus kuat, seperti para leluhur kita,” demikian sang ayah selalu berpesan sebelum berangkat merantau.

Kumalasari mengangguk ringan. Isah hanya diam mengamini.

Putrinya itu memang sering mendengar kisah-kisah keberanian leluhur, para perempuan pahlawan yang berjuang demi memerdekakan tanah air. Namun, terkadang cerita lampau tersebut semakin melemahkan Isah sebagai seorang istri. Begitu pula dengan Kumalasari. Gadis belia itu hanya bisa tersenyum saat melepas sang ayah ke tepian pintu.

Sayangnya, Isah dan putrinya tidak tahu ke mana sang kepala keluarga berniat pergi merantau. Kabar terakhir yang terdengar, suaminya, Ali, menjadi seorang pesuruh pengusaha kaya di kota provinsi. Namun, desas-desus lainnya bilang: Ali sudah tidak tinggal di pulau itu sejak delapan bulan lalu. Simpang siur keberadaan sang suami semakin menyurutkan asa Isah sebagai istri.

“Setahuku, Ali ikut proyek bikin jalan provinsi. Tapi aku kapok untuk ikut kerja di PT itu lagi, kami sering ditakut-takuti sama orang-orang yang pakai mobil jip di malam hari. Jadinya, aku lebih memilih bertani lagi saja. Ali tak mau ikut pulang bersamaku waktu itu,” kata Arkam, tetangga Isah yang pernah bersama-sama suaminya merantau kerja ke kota provinsi setengah tahun lalu.

Sejak tahu kabar itu, Isah semakin goyah untuk sekadar yakin akan kepulangan sang suami.

***

 

JALAN KAMPUNG BECEK oleh rinai hujan tadi siang. Langit kian mengelam. Ustaz Malik bersiap melafalkan azan magrib saat seorang tetua dusun yang ringkih memasuki balai surau dengan dengus yang memburu. Sementara itu, seorang warga lain berlari ke rumah Isah. Gedoran keras hampir merobohkan pintu rumah Isah.

Kaget, Isah membuka pintu tergesa.

“Mak … Mak … itu, Mak …!”

“Ada apa, Bang Arkam?” Isah menjawab dengan bingung.

“Bang Ali mati, Mak. Mayatnya hanyut di Sungai Sekarwangi. Penuh darah pula.”

Innalillah … Mala … tunggu rumah! Mamak ke surau dulu …,” Isah berteriak dengan pipi yang basah.

Beberapa menit berselang, lamat-lamat terdengar suara azan yang berkumandang dua kali.(*)

 

 

Bab 2

Kalung Kompas

 

 

Pulau Besar, 24 April 2004

 

Ambar menatap kosong rangkaian awan di langit. Sebuah kursi plastik menemani renungannya. Di tangannya, tergenggam gelas kristal ramping yang berisi sirup merah. Halaman masih riuh dengan tetamu undangan. Di meja paling panjang, tersaji aneka penganan pesta. Seseorang berseragam hijau tua mengajak istrinya untuk menepi ke sisi meja. Mereka mengambil mangkuk untuk mewadahi soto ayam dan emping. Padahal, di tangan kiri mereka, nasi rendang dan buah semangka menggunung dijadikan satu dalam piring ceper. Aji mumpung, mungkin.

Di dalam, seorang pria tua dengan kaki yang tinggal sebelah sedang sibuk menjamu rekan-rekannya. Kebanyakan dari mereka berseragam hijau loreng. Ada pula seragam lain yang lebih dihormati; dengan sejenis pin warna-warni yang terpampang di dada mereka. Beberapa dari mereka menaikkan tangan mereka hingga ke atas alis, tanda memberi hormat. Namun, sesekali malah pria tua itu yang berulah sebaliknya. Ketika ada seorang yang memakai plakat bergambar bintang satu di kedua bahunya, lengan pria tua itulah yang segera membentuk tanda segitiga.

Seorang perempuan dengan riasan tebal mendekati lelaki itu. Langkahnya terlihat centil, gerak tubuhnya seolah sengaja dibuat menggoda. Badannya agak dibungkukkan. Dengan gaun serbamerah, banyak lelaki yang hadir melirik perempuan itu dengan penuh hasrat. Mata perempuan itu menuju dada sang pria tua. Sambil dibacanya jahitan nama yang menempel di seragam orang tua itu…. BACA SELENGKAPNYA NOVEL INI DENGAN MEMESAN VIA

-WA admin Unsa Press 082111094238

-FP Penerbit Unsa Press

-Toko Buku Togamas

-Via komentar web unsapress

-Via Penulis Panji Pratama 085864645154

One comment

Leave a Reply