[FREE CHAPTER] MAKKUNRAI BY JUSTANG ZEALOTOUS

burane mallempa, makkunrai majjujung

pria memikul, perempuan menjunjung

Kumpulan Cerpen

Makkunrai

Penulis: Justang Zealotous

Editor: Dangaji

Desain Sampul & Tata Letak: Amaharani

Ilustrasi: Justang Zealotous

Cetakan Pertama: Agustus 2019

 

Penerbit

UNSApress

Email: unsaku27@yahoo.com

Fanspage: Penerbit UNSA Press

x + 149  hlm. ; 13,5 cm x 20 cm

ISBN : 978-623-90658-3-6

 

 

 Tangan Kanan

dan Segala Penderitaannya

Aku sudah berlumuran darah ketika Zein membawaku dari gudang belakang rumah. Saat ia benar-benar tega menjadikanku sebagai alat untuk melancarkan aksinya. Darah dan bau amis rasanya masih menyelimutiku hingga menjadi trauma tersendiri. Aku bersumpah, jika di dunia ini aku tidak bisa menjebloskannya ke dalam kurungan, aku akan membantu Munkar menghantamnya dengan tongkat besi.

Seperti biasa, pagi itu Zein berkunjung ke rumah kekasihnya, Martha. Sebagai tangan kanan, aku akan ikut ke mana pun ia pergi, meski terkadang membuatku ogah. Begitupun pagi itu, dengan sweter abu-abunya, ia bergegas ke rumah Martha setelah tahu tak seorang pun di sana, termasuk tetangganya.

“Aku akan ke rumahmu sekarang.” Begitulah ia menyuruh jempolku mengetik pesan untuk Martha sebelum ia berangkat dengan sedan bergaya retro klasik. Semenit kemudian, Martha seperti dengan riangnya membalas kalau ia sendiri di rumah, bahkan tetangga pun ke luar kota.

Aku tidak mengerti tentang hubungan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Namun, balasan Martha yang seolah sudah menyerahkan tubuhnya sepenuhnya buat Zein, aku menganggapnya tolol. Haruskah ia mengabarkan kalau tetangganya sedang ke luar kota? Edan.

Saat Zein tiba di rumah Martha, ia celingak-celinguk memastikan apa benar perkataan kekasihnya yang tolol itu kalau rumah tetangganya sedang kosong. Sangat benar. Dua rumah di sebelah kanan dan kiri kompak masih menyalakan lampu di bagian depan, yang jelas-jelas pagi itu sudah sangat terang. Jika mereka lupa mematikannya karena masih asyik bergumul di dalam rumah. Tidak masuk akal.

Setelah dirasa aman, Zein berjalan dengan langkah pasti, sesekali bersiul dingin.

“Martha!” Zein berteriak sembari mengetuk pintu keras-keras. Martha segera membukakan pintu dan menyambutnya dengan senyuman yang merekah lebar. Oh Tuhan, jika aku bisa, aku akan membenturkan kepalanya ke pintu yang terus berderik ketika ditarik itu agar ia segera sadar.

Sialnya, perempuan yang tempurung otaknya mungkin sudah terbentur lebih dulu itu malah menarik sweter Zein untuk bisa menggeliat di tubuh lelaki yang lumayan kekar itu. Aku semakin gatal karenanya dan tiada sangka lagi, Zein langsung berahi. Bagaimana tidak, seorang perempuan yang hanya berbalut tank top hitam serta skirt paling pendek sudah bergelantungan di badannya seperti seekor koala.

Begitupun setelah Martha menjamu Zein dengan tubuhnya yang seksi, kala pintu juga sudah ditutup rapat, Martha tanpa konyol menarik Zein ke kamarnya. Aku tidak tahu jelas apa yang terjadi, tetapi setelah Zein menanggalkan sweter abu-abunya dan menyisakan kaus tipis putih. Mereka mulai cekcok.

Zein memaksaku mencengkeram rambut panjang Martha hingga perempuan itu berkali-kali meringis kesakitan. Aku pun dibuat ngilu dan tersayat. Namun, sekali lagi aku hanya tangan kanan Zein yang wajib mengikuti maunya.

“Wanita sialan. Jalang. Apa aku tidak tahu apa yang kaulakukan dengan lelaki lainnya? Keparat!” Zein terus menerus melemparkan sumpah serapah kepada perempuan yang dibuat lebam di beberapa sisi tubuhnya itu.

Seperti belum puas, Zein kembali memintaku untuk meraih pisau dapur yang tertancap di apel. Kugenggam pisau yang berkilat itu dengan gemetaran. Beberapa kali pisau itu hampir terjatuh, tetapi setiap genggamanku hendak terlepas, Zein menggertak dan membuatku ciut. Martha pun memohon-mohon agar nyawanya tak direnggut saat itu, tetapi sepertinya sia-sia sebab darah Zein telanjur mendidih.

Aku akhirnya menyerah. Dengan mata nyalang, Zein membuatku gila dengan memberikan tiga tusukan di tubuh Martha. Satu di dada kiri, dua di perut. Martha tumbang. Darah mengucur deras dan bersimbah hingga lantai.

Aku ingin menangis. Zein malah menyeringai. Ia memintaku agar tubuh Martha yang mungil yang berlumuran darah diangkat ke gudang belakang rumah. Di sana, tubuh Martha dimasukkan ke karung goni, kemudian diikat kencang, setelah akhirnya diselundupkan di lemari tua bersama perkakas-perkakas tua lainnya.

Seandainya bisa, aku ingin meminta Tuhan untuk mencabutku sekarang. Meski kutahu, sepenuhnya bukan salah Zein atau ini ketololan Martha semata, tetapi aku tidak tega melihatnya, tepatnya melakukannya. Lalu, sebelum pulang, Zein memintaku untuk membersihkan semua jejak darah, jejak-jejak yang bisa membuatnya jadi tersangka.

* * *

Awalnya aku bahagia dengan hidupku. Bahkan beberapa teman iri padaku. Sebab aku diciptakan menjadi tangan kanan seseorang, artinya akan ada banyak hal yang dapat kulakukan untuk membantu (katakanlah) majikanku.

Aku bisa membantunya dengan mengangkat barang, meraih sesuatu yang dekat maupun jauh dan yang rendah maupun yang tinggi. Aku bisa membantunya menulis huruf demi huruf, kata demi kata, hingga menjadi kalimat-kalimat puitis maupun teoritis. Pokoknya, aku merasa sangat beruntung kala Tuhan menakdirkanku sebagai tangan kanan.

“Aku iri padamu,” keluh tangan kiri. “Kamu bisa melakukan banyak hal yang paling baik. Kamu juga bisa mencicipi beragam makanan yang aku sendiri tidak pernah merasakannya. Kamu tahu, aku hanya dipakai untuk menggenggam hal-hal buruk, membersihkan kotorannya, menguras klosetnya.”

“Bukankah kamu juga bisa membantuku melakukan semua itu? Tidak semua hal bisa dilakukan dengan sebelah tangan kanan.”

“Kamu memang beruntung, tangan kanan,” teriak kaki kanan dan kaki kiri nyaris bersamaan. “Kami hanya dipakai untuk melangkah dan melangkah, menendang dan menendang. Kadang kami menginjak tahi yang menyisahkan bau yang tak sedap. Atau, kami menginjak paku, beling, dan segala benda berduri, yang membuat kami bengkak dan bernanah,” ungkap kaki kiri.

“Cukup teman, kalian terlalu banyak memujiku. Padahal, kita semua penting. Jika satu saja terluka, semua akan susah,” kataku sebijak mungkin.

Kebahagiaan yang aku rasakan mulai terenggut saat kutahu aku hanyalah tangan kanan dari seorang bajingan. Meski memang, berkat ia, banyak pujian dilayangkan untukku. Tangan kanan yang kekar. Tangan kanan yang kuat dan bertenaga. Tangan kanan yang dapat mengangkat beban berat sendirian. Sayang, aku benar-benar malu dan kecewa. Aku hanya dipakainya untuk mencekik leher orang-orang tak berdosa atau orang-orang yang menjadi musuhnya. Aku juga dipakai untuk merampas isi saku anak-anak kecil, perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki lemah. Aku bahkan dipakai untuk melukai dan meninju banyak orang yang kadang membuatnya jengkel hingga orang-orang itu terkapar dan meradang berminggu-minggu.

Hal yang paling menyedihkan, walau teman-teman semakin iri padaku, bajingan tengik itu juga memakaiku untuk menelanjangi para perempuan yang kemudian ia campakkan. Ia bisiki para perempuan itu dengan bibir halusnya hingga mereka tergoda dan berhasil diajak kencan. Ketika ia selesai menjadikanku sebagai alat untuk menelanjangi dan menggerayangi tubuh-tubuh perempuan itu di atas kasur di sebuah motel kecil, lalu ia meninggalkannya begitu saja. Tanpa bayaran.

Memang, lelaki bajingan itu tampak berubah dan tak lagi memakaiku untuk menelanjangi banyak perempuan ketika ia bertemu dengan Martha, perempuan bertubuh ramping yang ia temui di depan sebuah bar di suatu malam di sudut kota. Lelaki itu mungkin masih memakaiku untuk bergulat dengan banyak orang dan merampas isi saku mereka, tetapi setidaknya aku tak perlu merasa semakin jijik dengannya.

Zein, lelaki itu, begitu tertarik pada kemolekan Martha. Sejak ia menemukan perempuan itu meringkuk di depan bar dengan hanya berbalut manset tanpa lengan, ia seolah melupakan kekasarannya pada semua perempuan. Saat itu pula, Zein menyerahkan jaketnya untuk dikenakan Martha yang tampak menggigil dan dengan sesenggukan, Martha berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Martha mengaku jika malam itu ia diusir perempuan sundala yang memberikannya pekerjaan di bar. Ia tidak bisa memakaiku lagi. Jadi, aku diusir, akunya. Oh Tuhan, apa semua hal yang sudah tidak bisa lagi dipakai akan bernasib nahas? Seperti aku, Zein juga terlihat iba. Ia merangkul perempuan itu dan mendekapnya erat.

“Kau tak perlu cemas. Aku di sini. Mulai sekarang, aku akan melindunginmu. Namun, aku mohon padamu, berhentilah mendatangi tempat bedebah ini.” Kalimat yang Zein ucapkan dengan lugas itu membuatku kembali bangga menjadi tangan kanannya.

Benar saja, Martha tidak lagi mendatangi tempat itu. Ia mulai bekerja sebagai seorang pelayan kafe saat malam hari dan paginya ia menjaga rumah atau sesekali berkencan dengan Zein. Kehidupannya pun semakin lama semakin normal. Tak ada lagi lelaki-lelaki sialan yang menggerayangi tubuhnya dengan bayaran. Ia cukup melayani pengunjung kafe dan juga menjamu Zein saat lelaki itu butuh. Pokoknya, ia merasa tubuhnya hanya untuk Zein. Di situlah, aku mulai menganggapnya tolol.

Beberapa kali Martha memohon kepada Zein untuk menikahinya, tetapi lelaki itu enggan. Ia belum siap, katanya. Zein ingin menikahi Martha saat ia punya pekerjaan tetap agar suatu nanti ia bisa hidup dengan layak bersama Martha, tanpa perlu merampas dan bergulat dengan banyak orang. Aku cukup mengagumi niat baik Zein itu.

Hubungan mereka perlahan redup setelah Zein beberapa kali menangkap basah Martha di depan bar dengan pakaian mini. Awalnya, Zein tidak menaruh curiga pada Martha karena jalan menuju kafe memang melewati bar itu. Namun, Zein tak sengaja mendengar percakapan dua orang pria mengenai kekasih yang amat ia cintai itu, Martha ternyata kembali menjadi perempuan simpanan lelaki hidung belang. Sontak Zein murka.

Dengan diam-diam, Zein mengikuti Martha ketika perempuan itu hendak bekerja saat malam. Saat taksi hampir mendekati bar, Martha turun dengan pakaian serba mini dengan riasan cukup menor. Martha kemudian melenggok menuju bar yang tinggal beberapa meter lagi. Sementara itu, Zein memandanginya jauh dengan sabar. Tidak menghitung lama, Martha keluar dengan bergelayutan di tangan kanan seorang lelaki berkumis.

Aku tidak mengerti, tetapi saat itu Zein cukup sabar tidak melabrak perempuan yang telah mengkhianatinya. Ia hanya diam dan sesekali menyeringai panas.

Saat pagi yang buruk itulah, Zein dengan ganas melancarkan aksinya, bersama bantuanku. Jujur, aku tidak menyukai sikap Martha dan ketolololannya, tetapi aku juga tidak berharap Zein menghukumnya sekeji itu. Di dunia ini ada hukum. Bukan suatu yang baik jika menghukum dengan tangan kananmu.

 

Usai menghabisi Martha di rumahnya sendiri, Zein segera kabur dengan sedan retronya. Aku masih bergetar saat dengan susah payah kupacu sedan itu agar segera pergi dari rumah terkutuk. Sedang napas Zein terdengar kian memburu. Walaupun seorang bajingan tengik yang suka menyelesaikan sebuah masalah dengan cara memukul, tetapi Zein tak pernah sekali pun mencabut nyawa korbannya. Sehingga itu yang barangkali membuat ia sedikit ketakutan.

Di sebuah tikungan menuju Pavilion Street, aku tiba-tiba hilang kendali, barangkali karena gemetaran yang enggan berhenti. Kuputar ke kiri, lalu ke kanan. Hal yang tidak kusangka, sebuah truk pengangkut beberapa batang pohon mahoni datang dari lawan arah. Truk itu lebih gesit dan akhirnya ikut oleng. Kutahu, aku tidak mungkin lagi menghindar apalagi ketika truk itu sudah berguling dan batang-batangnya satu per satu menggelinding. Aku hanya merasa kalau kami berputar-putar, menubruk, tertubruk, ditubruk. Sebuah tabrakan yang keras.

Mungkin, sekira tujuh menit, tidak ada lagi tubrukan dan kami sudah tidak berguling. Hanya teriakan-teriakan yang terus terdengar pelan-cepat. Sementara itu, Zein sudah tidak sadarkan diri tatkala darah dan beberapa sobekan memenuhi tubuhnya. Namun, tunggu dulu, aku sebagai tangan kanannya merasakan ada yang aneh. Kami berpisah. Sebatang pohon menghantam dan memisahkan kami. Aku sadar itu sakit, tetapi barangkali ini takdir Tuhan untuk segera mengakhiri penderitaanku bersama lelaki bajingan.(*)

Watampone, 2016

 

 

 

Menunggu

Malam ini sangat gelap. Terlalu gelap hingga rembulan tak tampak terlihat. Barangkali sembunyi di suatu awan. Bukan hal aneh memang. Sejak sore tadi awan berkepul hitam menghias langit. Namun, hujan belum turun juga.

Bukan, bukan hujan yang sedang kutunggu. Aku menunggu kau, suamiku. Kau telah pergi sejak menyeruput kopi pagi ini. Kaunikmati seakan asap yang mengepul dari setiap sisi cangkir hanya hiasan. Padahal kau tahu benar kopi itu sangat panas, sepanas bara api yang kautitipkan padaku meski selalu pasrah dan tak peduli akan menghanguskan ragaku. Kau masih belum balik juga.

“Aku mau ke kantor.”

“Baiklah, hati-hati! Jangan pulang tengah malam lagi.”

“Ah, bukan urusanmu.”

Kalimat itu masih terus terngiang di gendang telinga setelah kau berlalu menghilang di balik pintu. Setiap ketukan dalam kalimatmu sangat ketus. Kau menganggap semua bukan urusanku yang kau pikir hanya bagaimana memenuhi kewajiban menafkahiku. Aku istrimu dan sudah seharusnya punya urusan pada setiap hal yang kaulakukan. Namun, kau masih saja berkata begitu padahal kita telah menikah sejak lima tahun lalu.

Lalu, untuk apa aku jadi istrimu? Menjadikanku pelayan agar kau tak perlu menyewa pembantu rumah tangga. Kau pun bisa merengek padaku sesuka hati. Lantas kautelantarkan aku kapan saja kau mau. Ya, aku memang pelayanmu. Sebagai istri, aku wajib melayani kau, suamiku. Aku rela. Jika bukan cinta yang kau sanggup, kau masih anggap aku istrimu. Itu cukup bagiku.

Pedih. Memang pedih. Aku tak bisa berbuat banyak karena memang pilihanku. Sejak kau dan ibu-bapakmu datang saat itu. Kau bilang pada ibu-bapakku, kau ingin meminangku. Aku tak terkejut. Aku bahkan senang. Senang yang kusimpan dalam hati, tetapi tentu dapat kau lihat senyum yang menodai bibirku.

Kau berikan pula tatapan itu. Tatapan yang sangat tajam menusuk relung hatiku. Aku terpana. Kau memang tampan. Lekukan-lekukan wajahmu, garis-garis keningmu, dan warna cerah bibirmu yang menghipnotis pandanganku. Kaujelaskan jua, kau pekerja kantor di kota dengan gaji yang bisa menumpuk di dompet. Hati wanita siapa yang tak luluh pada lelaki mapan dan tampan.

Tentu bukan aku saja yang terlena. Mungkin banyak wanita lain yang telah mengincar. Jadi, tak salah jika berbangga diri dipinang olehmu. Sungguh aku memang bangga. Sangat bangga. Bangga yang kusimpan dalam hati.

Bagaimana tidak? Dari ribuan wanita yang mungkin bisa kaumiliki. Mereka yang lebih cantik dan anggun daripada aku. Mereka yang pintar dengan deretan titel di belakang nama. Mereka yang berharta dan mampu menopang kau, lalu ternyata pilih aku. Betapa beruntungnya, tulang rusukku ternyata kau.

Namun, dugaanku pada lelaki tampan sekaligus mapan itu salah. Kau beranjak abai padaku. Meski sebenarnya aku tetap mencintaimu seperti saat lima tahun lalu. Cinta yang selalu tersimpan dalam hati.

* * *

Suamiku, kenapa belum balik juga? Titik-titik air itu telah berjatuhan. Memang belum deras dan angin belum sempat menderu hebat. Cuma gemercik air yang terdengar dari rinai-rinai hujan yang seakan menetes bergantian.

Itu sama dengan tiap-tiap tetesan yang jatuh dari saluran air di kamar mandi, saat bulan madu kita di hotel. Kau membuat saluran airnya tersendat-sendat dan menimbulkan gemerencik yang terdengar menimpa lantai.

“Aku nggak suka sepi. Jadi, biarkan saluran alirnya tetap menyala dan aku harap kau tak terganggu sama sekali dengan itu.”

Aku cuma diam karena tak ingin perdebatan malah mengganggu bulan madu kita saat-saat sedang bercinta. Meski kau harus tahu aku tak suka itu. Aku tak menginginkan bunyi apa pun menjadi penganggu. Aku lebih suka kedamaian.

Apa mungkin itu pula yang membuat aku tak hamil juga? Terlalu singkat memang sampai berpikir demikian. Namun, itu yang telah nyata dan terjadi padaku, pada kita. Tuhan belum juga mengaruniai seorang anak meski kita sudah menikah lima tahun lamanya.

Aku pernah coba periksa ke dokter. Aku tak mandul. Bahkan pernah kuminta kau periksa juga ke dokter meski harus dipaksa berkali-kali dan akhirnya mau. Kau pun tak mandul. Kita semua normal. Jadi, apa yang salah denganmu? Juga apa yang salah denganku? Apa mungkin Tuhan belum mengizinkan kita menimang anak?

Untunglah Tuhan berkehendak itu. Bukan, bukan tak suka punya anak. Aku bahkan membayangkan anak perempuan atau laki-laki berlarian dengan kedua tangannya dijulurkan ke depan berharap pelukan dariku atau darimu. Atau tangisan dan pekik tawa yang selalu terdengar mengisi hari-hari kita.

Namun, sungguhkah kau tahu? Aku bahkan lebih tak bisa membayangkan anak perempuan atau laki-laki itu merintih-rintih dengan matanya yang telah sembap, tetapi ayahnya tak datang memeluknya. Anak itu terlantar seperti kini aku membekam sepi sejak sebulan usai bulan madu kita dan kau sibuk dengan urusan kantormu.

“Pak, Bu, aku janji akan selalu menjaganya dan menjadi imam untuknya.”

Aku masih ingat betul kalimat itu kauucapkan di depan ibu-bapakku. Bahkan bisa kurasakan rangkaian kata itu meluluhkan hati. Nyatanya, kau telah memadu aku dengan kantormu. Kaucumbu rayu pekerjaanmu dan abaikan aku sebagai istri. Seakan kau telah khianati janji sukma yang terucap lima tahun lalu.

Aku tak selalu merasakan cintamu. Padahal kau tahu, aku butuh itu. Aku ingin suami memelukku, memanjakan diriku, membelai mesra aku, dan akan setiap hari mengatakan cinta padaku sambil bunga yang digenggam di tangan. Romantis memang.

Namun, aku sadar diri. Kau yang telah memilihku dan aku yang menerimamu. Betapapun, aku masih mencintaimu. Cinta yang sama seperti pertama kali kau datang padaku, bersama ibu-bapakmu. Tak pernah ada yang kurang sama sekali. Meski tak pernah bilang padamu secara langsung dan selalu kusimpan dalam hati.

* * *

Suamiku, rinai-rinai hujan itu telah menderas. Suara air bercucuran menimpa genting keras sekali memekakkan telinga. Angin juga menggemuruh hebat. Kulihat daun-daun dan ranting-ranting pohon saling menari, tiang listrik seakan ingin tumbang, beberapa lampu jalan sempat padam sekali-kali, dan sekelebat cahaya juga terkadang mengagetkanku.

Sementara di dalam rumah, gorden-gorden bergoyang melayang, jendela berkepak-kepak, pintu seakan ada yang menghentakkan, dan air hujan terciprat dengan keras ke kaca jendela.

Aku takut sekali. Kenapa belum balik juga? Apakah kau baik-baik saja? Mungkin karena hujan yang deras kau tak bisa pulang. Mungkin kau sedang terjebak di suatu tempat yang sepi saat mencoba pulang, mobilmu mogok dan tak seorang dapat membantu. Mungkin kau sedang berlarian di tengah hujan untuk meminta bantuan.

Aku semakin risau. Berharap akhirnya kau membuka pintu dan langsung memeluk untuk menenangkan hatiku yang mulai kacau. Tunggu, jika kau benar-benar pulang pastilah sangat dingin. Aku akan segera membuatkan secangkir teh panas seperti yang dulu, meski tak yakin kau akan menerimanya.

Aku tahu kau paling suka teh, bukan kopi seperti kebanyakan lelaki lainnya. Namun, tak pernah lagi kubuatkan teh sejak hari itu dan memilih memberimu kopi sebelum ke kantor. Soalnya masih ingat betul saat secangkir teh panas terakhir yang kubuatkan untukmu. Sebelum sempat kauseduh teh itu, langsung kaulempar cangkirnya ke lantai. Aku heran dan sangat terkejut. Terlalu manis atau kurang manis? Sepertinya tidak, kau belum sempat meminum walau setetes. Aku tahu seleramu, teh panas dengan dua sendok gula. Jadi, tak mungkin salah dengan teh yang kubuat.

“Tak perlu sok peduli. Kau yang menghilangkan berkas kantorku, ‘kan? Siapa lagi kalau bukan? Cuma kau dan aku di rumah ini.” Kau membentakku dengan wajah memerah. Kaukepalkan tanganmu yang seakan siap meninju.

“Aku tak tahu tentang berkas kantormu. Apa kau sudah periksa di rak-rak ruang kerjamu, mungkin saja tertinggal?”

“Sekarang kau menuduhku bertindak ceroboh? Dasar!” Kau mulai berdiri dari kursimu dan sesekali meninju meja, itu berkali-kali pula mengagetkanku.

“Aku bukan menuduh. Aku cuma mengingatkan siapa tahu tertinggal di suatu tempat.” Kita memang cuma berdua di rumah, jauh dari orangtua dan kau bahkan tak suka ada pembantu. Namun, aku tak mungkin sengaja menghilangkan berkas itu.

Kau tetap tak mau mendengarku. Kau mulai berjalan mendekat dengan tatapan yang menukik, bukan seperti tatapan lima tahun lalu. Ini lebih menyeramkan. Setelahnya, tanganmu langsung mencengkeram rambutku, menariknya, dan membuatku semakin sakit. Aku berteriak, merintih kesakitan. Berkali-kali kukatakan maaf, tetapi kau tak henti menarik rambutku hingga tak kuasa air mata ikut meriak. Akhirnya kaulepaskan juga dan pergi dengan ekspresi paling berang.

Aku sungguh tak mengerti dengan sikapmu. Hanya karena kertas-kertas itu telah hilang, kau beringas dan menjadikanku korban pelampiasan. Aku bahkan tak bisa pikir jika yang hilang itu aku, istrimu. Mungkinkah kau tetap bertindak segila ini? Ataukah malah santai dan tak ambil pusing?

Aku paham. Kau bertindak demikian marahnya karena berkas itu barangkali sangat penting bagimu meski aku sangat ingin menjadi hal yang lebih penting untukmu. Walau begitu, saat air mataku akhirnya menetes, aku tetap mencintaimu. Selalu sama dan tak akan pernah berkurang. Kendati tetap kusembunyikan dan kusimpan dalam hati.

* * *

Suamiku, hujan semakin mencekam… BACA SELENGKAPNYA KUMCER INI DENGAN MEMESAN VIA

-WA admin Unsa Press 082111094238

-FP Penerbit Unsa Press

-Via komentar web unsapress

One comment

Leave a Reply