[FREE CHAPTER] SELAKSA MAKNA CINTA 2 BY MASHDAR ZAINAL DKK
Buku ini didedikasikan untuk:
Pembaca yang budiman
Para anggota grup Untuk Sahabat di mana pun kalian berada
Semua Komunitas menulis di tanah air
Penggiat literasi yang selalu bersemangat
Pengelola perpustakaan dan taman baca
Penyuka sastra
Penggila buku
Termasuk juga para bakul buku
Terakhir untuk …
Siapa saja Anda yang sudi menjadikan UNSA sebagai ‘rumah’; tempat kembali untuk berkumpul dan bersahabat dalam gelora literasi
Selaksa Makna Cinta
@Mashdar Zainal, dkk.
Proofreader: Dangaji
Desain Sampul & Tata Letak : Amaharani
viii + 139 hlm. ; 14 cm x 20 cm
ISBN : 978-623-90656-5-0
Cetakan Pertama Oktober 2019
Penerbit UNSApress
Email: unsaku27@yahoo.com
Fanspage: Penerbit UNSA Press
Hp/WA 082111094238
ALFIAN N. BUDIARTO
Perahu Kayu dan Lelaki yang Terombang-ambing di Tengah Lautan
Jangan tanyakan perihal bagaimana aku bisa berada di atas perahu ini bersama Raim, lelaki yang sudah kukenal sejak aku pertama kali membuka mata. Maksudku benar-benar membuka mata, bukan sedari aku lahir dan menjalani siklus kehidupan seperti manusia kebanyakan: bayi—remaja—dewasa—lalu menua—dan mati. Sekali lagi bukan. Sebab, aku sendiri tidak yakin apa aku pernah dilahirkan atau tidak. Begitu juga Raim. Kata Raim, di suatu malam yang berangin, saat perahu kayu miliknya terombang-ambing dimainkan keras ombak, Raim menemukan tubuhku sudah tergeletak di buritan dalam keadaan basah. Entah basah karena air laut atau hujan yang turun begitu deras. Yang Raim tahu, sehari sebelumnya, ia hanya sempat berdoa agar Tuhan memberikannya seorang sahabat. Agar tak lagi sendirian, katanya.
Kalau kalian pikir Raim tahu segalanya, maka kalian salah. Sebab, Raim sendiri tidak pernah tahu bagaimana ia bisa berada di atas perahu yang entah milik siapa dan di mana. Yang ia ingat, saat pertama kali ia membuka mata—persis seperti ketika aku juga membuka mata di perahunya—ia sudah sendirian. Mengapung dan terlunta-lunta di atas perahu kayu reyot yang tak berpenghuni itu. Satu-satunya benda yang banyak ia temukan berserakan di lantai perahu, hanyalah sekumpulan buku cerita anak-anak yang Raim sendiri tak tahu milik siapa. Berhari-hari mendayung, pemuda itu tak kunjung menemukan pulau pun bibir pantai. Lalu, di tengah keputusasaannya itulah, Raim tiba-tiba berpikir untuk meminta pada Tuhan agar memberinya seorang sahabat. Dan, malam itu, aku jatuh dari langit—barangkali, meski kata Raim ia tidak mendengar suara benturan sama sekali sebelum ia menemukan tubuhku.
Jangan kira Raim itu adalah nama aslinya. Sebab, sebelum adanya aku, ia sendiri tidak pernah kepikiran mempunyai nama. Karena ia kemudian memberiku nama Lais, maka aku pun memberinya nama Raim. Adil, bukan?
Kata Raim, mataku kebiruan, seperti halnya air laut. Sedang kataku, matanya juga lazuardi, seperti halnya biru langit. Dia bilang hidungku mancung, aku bilang hidungnya juga sama. Begitu juga ketika kami membandingkan warna kulit yang kecokelatan, pun merasakan rambut yang sama-sama ikal. Terlalu banyak persamaan antara aku dan Raim. Termasuk kami sama-sama hanya bisa makan ikan dan minum air hujan.
“Kau pernah berpikir mengapa kita bisa terdampar di perahu ini?” tanya Raim ketika terik matahari sedang gahar-gaharnya di angkasa dan hanya ada atap nipah bolong yang memayungi kami di atas perahu. Sedang di tangan kami masing-masing, kail berisi umpan ikan sisa makan tadi malam, kami lemparkan.
Aku menggeleng. “Yang aku tahu, aku ada di sini karena kau yang telah meminta pada Tuhan untuk memberimu seorang sahabat ketika kau sedang mengapung di atas perahu sendirian. Menurutku, karena itulah Dia kemudian meletakkanku juga di atas perahu ini. Barangkali jika saat itu kau sedang berada di sebuah pulau, maka aku juga akan diturunkan di sana.”
Raim malah terkekeh. Sesekali ia menarik ulur senar di tangannya. “Kalau aku ada di pulau, untuk apa aku meminta sahabat. Di pulau, pasti akan menyenangkan. Aku bisa memilikinya sendiri. Makan buah kelapa sepuasnya, membangun rumah dan berladang. Semuanya akan menjadi milikku seorang.”
“Jadi menurutmu, kegunaanku di perahu ini hanya agar ada orang lain yang juga merasakan kepayahanmu? Biar kau tak bersakit-sakit sendiri.” Aku menoyor pundaknya.
“Bukan begitu, Lais. Kau akan tahu bagaimana rasanya menjadi aku jika kau adalah orang pertama yang berada di perahu ini. Merasakan kesedihan, kesendirian, dan juga putus asa. Mungkin kau juga akan melakukan hal yang sama, berdoa pada Tuhan agar mengirimkanku ke perahu ini.”
Gantian aku yang terkekeh. “Benar juga katamu, tapi untunglah aku jadi yang kedua berada di perahu ini. Jadi, aku tak perlu merasakan kesendirian dan putus asa seperti yang kau alami.”
“Hidup kadang seperti itu. Saat kita sendirian dan sedang putus asa, saat itulah kita baru akan merasa membutuhkan orang lain …”
Sebelum Raim menyelesaikan kalimatnya, aku menyela. “Dan saat kita sedang bahagia dan bersenang-senang, kita akan merasa bahwa kesenangan itu cukup kita sendiri saja yang rasakan. Tanpa perlu membaginya dengan orang lain.”
“Betul. Nyatanya hidup memang seaneh itu.” Tepat saat Raim menyelesaikan kalimatnya, ia merasakan senar pancing di tangannya ditarik sesuatu. “Malam ini kita akan makan ikan yang besar, Lais.” Raim segera menarik dan menggulung senar pancingnya ke atas perahu. Dan kemudian seekor ikan tenggiri berukuran besar menggelepar di ujung kail.
—o||o—
Malam kunang-kunang. Langit bintang-bintang. Sisa makan malam masih berserakan di atas piring-piring kotor. Aku dan Raim sedang terlelap di atas perahu dengan perut penuh. Dengkuran halus Raim terdengar menembus atap nipah yang bolong, lalu melayang menuju ke arah timur.
Aku terbangun dari tidurku, sebab aku merasa ada yang tak biasa. Perahu bergerak, padahal tidak ada gelombang pun bergoyang. Laut sedang tenang.
“Raim, bangun.”
“Ini masih terlalu awal untuk bangun, Lais.”
“Bangun, Raim. Ada yang tidak beres.”
“Satu-satunya hal yang tidak beres adalah kau membangunkanku di saat langit masih gelap,” dengus Raim dengan kesadaran setengah-setengah.
Aku menengadah, mencoba mengamati bintang-bintang. Rupanya sedari tadi bukan perahu kami yang bergerak, melainkan bintang-bintang berekor di atas sana yang berarak. Persis ikan julung-julung, atau itu memang ikan julung-julung.
“Raim, apa kau pernah melihat ikan julung-julung terbang di langit?”
“Jangankan ikan-ikan terbang di langit, aku bahkan biasa melihat burung-burung berenang bersama ikan paus di dasar laut.”
“Kau serius?”
Raim yang kulihat masih memejamkan mata, hanya mengangguk. “Di dalam mimpiku, aku bisa melihat semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin,” ucapnya sebelum kemudian kudengar Raim kembali mendengkur.
“Sialan!” umpatku sembari menendang pelan kakinya. Dan seperti dugaan, pemuda yang begitu mirip denganku itu sama sekali tak bereaksi.
Kembali kuedarkan pandanganku pada sekumpulan ikan julung-julung yang melayang ke arah timur. Mereka benar-benar terbang, dan aku tidak sedang bermimpi seperti apa yang dikatakan Raim barusan.
“Kalau ikan saja bisa terbang, maka seharusnya aku bisa berenang.” Tanpa berpikir panjang, aku langsung menceburkan diriku ke dalam laut.
Aku kira ketika aku menceburkan diri, airnya akan dingin. Atau setidaknya badanku akan segera menggigil. Nanum, rupanya aku salah. Air itu hangat, seperti air mata. Aku jadi ingat sesuatu tentang air mata.
Waktu itu sepertinya aku belum bertemu dan mengenal Raim. Sebab, aku ingat kalau aku sedang duduk sendirian. Bukan di perahu atau terapung di tengah laut. Melainkan sedang duduk di bibir pantai sebuah pulau kecil. Aku juga ingat bagaimana kakiku bisa merasakan dengan jelas butiran-butiran pasir pantai. Kasar dan sedikit gatal.
Aku tiba-tiba teringat dengan percakapan antara aku dan Raim siang tadi. Saat kami sedang asyik memainkan umpan di ujung kail. Raim bilang, kalau seandainya ia ada di sebuah pulau sendirian, ia akan merasa senang dan tak akan membutuhkan seorang sahabat. Sekarang bisa kukatakan padanya kalau ia pastinya salah besar. Sebab, sebelum aku berada di perahu, aku ingat pernah merasakan tidak nyamannya sendirian berada di sebuah pulau. Tanpa teman.
Kalau ada yang bertanya tentang bagaimana aku bisa ada di pulau itu, maka aku juga tidak tahu. Seperti halnya aku tak tahu bagaimana bisa bersama Raim. Yang aku ingat, sehari sebelum aku terdampar di perahu kayu milik Raim, aku sempat berdoa kepada Tuhan agar Dia memberiku seorang teman. Itu saja. Karena nyatanya, di mana pun kita berada, kita tak akan pernah bisa hidup sendirian.
Dan tak lama setelah aku berdoa, hal yang kemudian kuingat hanyalah sebuah suara yang menjawab. “Kau akan kupertemukan dengan sahabatmu, juga saudara-saudaramu.” Hanya itu. Dan begitu aku membuka mata, Raim sudah ada di depanku.
Aku mencoba untuk kembali naik ke atas perahu, setelah kurasakan hangatnya air laut yang serupa air mata tadi. Dan kulihat Raim masih tertidur pulas di tempatnya semula. Dengkurannya kali ini lebih kuat dari sebelum-sebelumnya.
“Raim, bangun. Kamu bilang—”
Kulihat Raim tergeragap. Napasnya terdengar tersendat-sendat. Meski kedua matanya belum juga terbuka. Mimpi buruk? Jangan-jangan saat ini Raim sedang bermimpi buruk.
Kugoyang-goyangkan tubuh gempal itu. “Raim, bangun!”
Pemuda itu langsung membuka matanya. “Lais? Kau benaran Lais, ‘kan?”
“Iya. Memangnya siapa lagi yang ada di atas perahu ini selain aku dan kau?”
Raim lantas memelukku. Erat sekali.
“Kau kenapa, Raim?”
Raim malah menangis. Seperti seorang bocah hilang yang baru saja bertemu kembali dengan orangtuanya.
“Aku tahu kita sedang ada di mana.”
“Kalau itu aku juga tahu. Kita, kan, ada di atas perahu kayu milikmu. Meski aku tidak tahu kita ada di laut atau samudra mana.”
“Bukan itu maksudku. Kita bukan ada di salah satu lautan mana pun di bumi.”
Aku terkekeh. Tak memedulikan sisa air mata di sudut mata Raim. “Kurasa saat ini kau sedang mengigau.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mengigau. Dan namaku bukan Raim. Namaku Ahmad. Dan namamu … namamu Lukman.”
“Kau bercanda?”
Kulihat Raim menggeleng. Ia lantas menunjuk buku yang sedari awal tergeletak di atas perahu kami. “Kau harusnya ingat buku itu. Itu buku yang kerap kita bacakan untuk anak-anak di pengungsian. Kau ingat, Lukman?”
Tiba-tiba seperti ada yang memukul kepalaku dengan begitu keras. Sampai-sampai telingaku terasa berdenging. Ya, aku tiba-tiba ingat kejadian yang kualami bersama Raim. Tidak, maksudku Ahmad. Aku ingat, kami adalah dua orang relawan yang menawarkan diri dalam sebuah misi kemanusiaan ke daerah berkonflik. Perang saudara. Saat itu kami bertugas untuk mengantarkan obat-obatan dan juga persediaan makanan. Namun, sayang, saat kami sedang membacakan dongeng untuk anak-anak di sana, sekelompok orang bersenjata yang tidak kami kenal memberondong kami dengan senapan rakitan. Aku melihat Ahmad lebih dulu tergeletak di depanku, sebelum kemudian aku ikut merasakan sebutir peluru bersarang di dadaku.
Aku ingat pesan Ahmad sebelum kami sama-sama mengajukan diri sebagai relawan. “Apa pun yang terjadi nanti, seandainya kita tidak bisa lagi melihat matahari kembali, percayalah kita adalah saudara seperjuangan. Berjuang demi kemanusiaan.”
Kurasakan perahu kayu kami menabrak sesuatu. Bunyinya cukup keras. Bahkan aku yang sedang duduk di atas perahu, merasakan tubuhku nyaris tumbang. Begitu juga Ahmad. Dan ketika kutolehkan wajah ke sisi depan perahu, yang kulihat hanyalah hamparan pasir putih. Rupanya perahu kami telah sampai di sebuah pulau.
“Kita sudah sampai, Lukman. Sudah sampai,” ujar Ahmad sambil memelukku erat.
Aku ikut memeluknya. “Iya, Ahmad. Kita sampai,” balasku ketika kudapati dari arah bibir pantai, anak-anak yang pernah kukenal menyambut kami. Mereka, anak-anak pengungsian yang tak berdosa, yang dulu berwajah kumal, kini bersih dan bercahaya.
“Selamat datang di pulau kami, Kak.”
Tak pernah kurasakan dadaku setenang ini.
MASHDAR ZAINAL
Dua Karib yang Memenggal Masa Lalu
Sebenarnya aku bisa bilang: Jika kau ingin apa yang kuingini, maka ambilah, daripada kau mengambil milikku diam-diam dari belakang. Itu benar-benar lebih menyakitkan dari sesuatu yang paling menyakitkan. Dan bagimu, mungkin ini cukup rumit. Ya, ini memang cukup rumit. Maka untuk mendinginkan semua ini, sudah seharusnya kita mengingat-ingat bagaimana awal mula kita dipertemukan.
Bagaimana kita dipertemukan?
Tentu saja, kita tidak pernah ada janji untuk bertemu di rumah kos penuh kecoak itu, tetapi di situlah pertama kali kita dipertemukan—hanya karena kamar kos kita bersebelahan. Dan di kamar kosmu yang kacau itu pertama kali kau mempersilakan aku duduk. Kau mengajakku berkenalan, menawariku segelas kopi dingin dan sebatang rokok yang hampir patah. Sambil melepuskan asap rokokmu kau berceloteh tentang rumah kos seperti apa yang cocok untuk pemuda sepertimu. Aku hanya sesekali mengangguk dan berkata “oh” demi mengimbangi keramahanmu.
Kau bercerita, kalau kau adalah seorang karyawan sebuah pabrik kertas yang buruh-buruhnya tak pernah suka berdemo menuntut kenaikan gaji. Kau juga menjelaskan bahwa kau adalah anak seorang petani sawit di Padang, Sumatra. Orangtuamu mengirimmu ke tanah Jawa ini tak lain supaya kau meneruskan kuliah. Namun, nyatanya kau tak betah menjadi mahasiswa. Kau malah iseng menjadi buruh pabrik. Tentu saja orangtuamu di kampung kecewa. Namun, dari caramu bercerita sepertinya kau cukup bangga dengan keputusanmu sekarang.
“Manusia hidup harus berdikari, bukan?” tuturmu terdengar bijak, tetapi jujur aku merasa tersindir. Karena aku masih pemuda kencur yang tak bisa berdiri dengan kaki sendiri.
Waktu merangkak dan menyulam banyak hal yang tiba-tiba mengakrabkan kita. Seperti ketika menjemur pakaian, aku suka meminjam hanger-mu, sebagaimana kau suka meminjam buku sajakku untuk kau salin dan kau berikan pada teman—wanita—kerjamu. Kelakuanmu memang benar-benar lelaki—selalu malas untuk membersihkan kamar atau menyisir rambut. Seprai di ranjangmu penuh lubang sulutan rokok. Abu rokok tercecer di mana-mana. Di pojok kamarmu, di belakang pintu, teronggok gelas-gelas besar bekas kopi—yang entah kapan, yang mungkin akan kau cuci seminggu sekali. Itu sedikit gambaran tentang kelakuanmu.
Jika kita berbicara tentang kelakuan kita masing-masing, kita seperti tengah terlibat dalam debat kusir. Kau ke Sabang, aku ke Merauke. Kau nge-rock dan aku dangdutan. Kau ke ceruk pantai dan aku mendaki gunung. Yah, begitulah. Selalu punggung kita yang bersitatap, tetapi entah mengapa, perbedaan itu terasa sangat manis. Seolah kita harus menyerah pada sebuah pepatah bahwa perbedaan itu ada untuk saling melengkapi. Ya. Itu benar. Buktinya aku tak pernah mempermasalahkan ketika kau menumpahkan segelas kopi di atas karpet turki-ku. Kau juga tidak pernah marah ketika aku menyebutmu kecoak gudang.
Persahabatan kita memang begitu manis. Kita acap makan satu daun berdua, minum dengan gelas plastik yang sama. Kita membaca buku dan bermain kartu, bermain kata dan saling mengingatkan ketika bulu mata kita masing-masing tanggal oleh celak yang kita pakai menjelang salat Jumat. Kita tak ubahnya sepasang pertemuan dan perpisahan yang tak akan terpenggal oleh apa pun, kecuali oleh perpisahan itu sendiri. Kita selalu meloloskan apa yang terlintas di benak kita, di hati kita.
“Milikku milikmu. Benar, ‘kan?” bisikku.
“Bantalku bantalmu. Sandalku sandalmu. Kausku kausmu. Nasimu nasiku. Rokokku rokokmu. Aqua-ku aqua-mu. Dompetku dompetmu. Dan kelak ….”
“Istriku istrimu.”
Ha … ha … ha … Kita tergelak.
“Yang itu lain, kawan. Barangkali yang benar begini, istriku ya istriku, tapi tak apalah … istrimu istriku. Ha? Ha? Bagaimana?”
Ha … ha … ha …
“Aku punya sebuah teori. Ya. Setiap orang memiliki sebuah pintu terlarang, yang tak boleh dibuka oleh siapa pun. Kalau tak begitu, kita telanjang di mana-mana, dong!”
“Benarkah? Memangnya apa yang tak kutahu darimu?”
“Seperti yang tak kutahu darimu.”
“Seperti misalnya … diam-diam kau suka menempelkan upilmu di bawah meja?”
Ha … ha … ha … Kita terbahak.
“Tidak lucu.” Tukas kita bersamaan.
Ha … ha … ha … Kita terbahak lagi.
“Aku takut.” Celetukmu tiba-tiba.
“Takut? Takut kenapa?”
“Takut jika suatu nanti kita akan bermusuhan.”
“Tunggu, tunggu. Kedengarannya sangat menyenangkan bisa bermusuhan denganmu, tapi tenanglah, bukankah kita bisa berembuk untuk memutuskan siapa yang harus mengalah?”
“Dan yang muda harus menghormati keputusan yang tua.”
“Dan tentu saja, yang tua sudah seharusnya mengalah.”
“Jadi?”
Jadi, semua berjalan baik-baik saja, bahkan ketika kita dipertemukan dengan gadis manis penunggu kedai mie ayam di ujung gang. Semuanya tetap baik-baik saja. Kita pernah saling ngotot perihal nama gadis itu. Seingatku gadis yang selalu berjilbab itu bernama Maryam, sedang katamu dia memperkenalkan dirinya dengan nama Mery. Entah siapa yang benar. Itu sama-sama….. BACA SELENGKAPNYA BUKU INI DENGAN MEMESAN VIA
-WA admin Unsa Press 082111094238
-FP Penerbit Unsa Press
-Via komentar web unsapress