[FREE CHAPTER] WANITA YANG LENYAP DI DASAR SUMUR BY MUH. SYAHRUL PADLI

Kucing-kucing mengajarkan bahwa cepat atau lambat setiap makhluk memang berakhir sendirian

 

 

Wanita yang Lenyap di Dasar Sumur

@ Muh. Syahrul Padli

Editor: Dangaji

Desain Sampul & Tata Letak: Amaharani

 

Cetakan Pertama: Juni 2020

x + 119  hlm. ; 13 cm x 19 cm

ISBN: 978-623-90658-7-4

 

Penerbit UNSApress

Email: unsaku27@yahoo.com

Fanspage: Penerbit Unsa Press

Hp (WA): 082111094238

 

 

 

0.

 

“Tak membayar setoran bulanan adalah sebuah kejahatan yang dapat dijerat dengan hukuman penjara,” ucap lelaki ringkih itu dengan mata tertuju lurus pada dinding bercat putih di kamar baringnya. “Tindakan itu tidak ada bedanya dengan mencuri uang atau barang berharga lainnya. Bank bukan Tuhan yang dapat memberikan pinjaman atau kredit secara cuma-cuma.”

“Aku sudah lama di sini, Ayah,” seru Syueb untuk kesekian kali mencoba memberitahu kedatangannya.

“Uang tidak jatuh dari langit begitu saja seperti hujan dan tidak gratis seperti udara yang dihirup. Bagaimanapun, uang bank adalah uang negara. Sehingga semua keuntungan dari bank ditujukan untuk membangun negara,” lanjut ayahnya tanpa peduli kepada Syueb sedikit pun. Ayahnya seperti sedang mengulang-ulang perkataan atasannya sewaktu pelatihan karyawan bank puluhan tahun lalu.

Lama mengobrol dengan tembok, ayahnya itu berbalik. Namun, ekspresi wajahnya tidak berubah, tetap datar dan dingin. Matanya berfokus ke arah Syueb seolah sedang melihat arca atau candi.

Syueb menatap balik. Sayangnya ia tak mendapat petunjuk apa-apa dari kedalaman mata ayahnya. Mata itu tak ia kenali. Mata itu juga hanya memancarkan kekosongan. Seolah jiwa ayahnya sedang tertidur di suatu tempat yang jauh.

Syueb memegang tangan ayahnya. Tangan yang kian kecil dan sedikit mengerut tersebut barangkali melenyapkan beberapa tanda-tanda kekekaran yang pernah dimiliki laki-laki tua itu. Ia mengenang beberapa hal tentang ayahnya puluhan tahun lalu.

Tatkala masih bekerja di luar ruangan dan berkeliling menagih nasabah dari pagi hingga sore hari, ayahnya  tampak sangat kuat dan tak ada yang menduga ia dapat terserang penyakit. Namun, masa depan memang tak menentu. Tak ada satu pun manusia yang dapat meramalkannya. Kini fisik dan ingatan ayahnya terlihat begitu rapuh dan mudah hancur.

Ada banyak pertanyaan di kepala Syueb yang sudah lama ia pendam. Namun, ia tahu perihal ingatan ayahnya yang memburuk dari perkataan perawat. Sejenak, ia menimbang-nimbang apakah langsung bertanya atau menunda hingga suasana dan ingatan ayahnya membaik. Meski tahu kemungkinan ayahnya menjawab dengan tepat sangat kecil, ia ingin mencoba mencari tahu sesuatu yang mengganjal dalam benaknya sejak lama.

“Ibu tidak meninggal karena sakit saat aku masih kecil, iya ‘kan?” tanya Syueb dengan suara pelan. Ia coba mengabaikan fakta kalau memori masa lalu ayahnya tak utuh bahkan berantakan. Yang ia ingin tahu secepatnya adalah kebenaran tentang ibunya. Dengan mengetahui itu, ia merasa lebih lega dan bisa mati dengan tenang.

“Ibu meninggalkan kita. Dia pergi begitu saja dan tak menganggap kita berempat penting dalam hidupnya, bukan? Dia pergi bersama pria lain. Benar,‘kan?” Syueb memberondong ayahnya dengan beragam pertanyaan yang selama ini mengganggunya.

Ayahnya mengalihkan pandangannya lalu menatap kosong dinding kamar baringnya lagi. Tangannya yang digenggam Syueb ia kibaskan. “Tidak membayar setoran bulanan adalah perbuatan yang tercela. Para nasabah tidak boleh melakukan hal sesuka hati mereka karena pendapatan bank adalah sumbangan berharga bagi Anggaran Pembangunan Negara.”

Syueb kadang menduga-duga barangkali ayahnya memahami pertanyaannya dengan jelas, hanya saja ayahnya tidak dapat menjawab secara langsung karena ingatan dan ucapan ayahnya tidak selaras. Ataukah memang beberapa kejadian sengaja dilupakan oleh ayahnya secara sadar untuk mengelak dari kenyataan yang tak dapat diubah. Atau barangkali, maksud ayahnya tersembunyi di balik kalimat-kalimat tentang setoran dan bunga bank.

Segala kemungkinan dipikirkan Syueb. Ia merasa kalau ayahnya menyembunyikan fakta tentang kepergian ibunya dengan alasan yang sangat pribadi.

“Ayah,” ujar Syueb. “Aku selalu ingin menganggap Ayah bukanlah orangtua kandungku. Namun, aku tidak bisa melakukannya di dunia nyata. Hanya di dunia imajinasi yang kuciptakan sendiri, aku bisa melakukannya. Di dunia imajinasi itu, aku menganggap Ayah adalah pembohong. Ayah memungutku dari panti asuhan dan membohongi semua orang kalau aku adalah anak kandung Ayah sendiri. Ayah adalah pembohong yang tak berani hdiup sendiri. Ayah membutuhkanku untuk membuat Ayah tidak terlihat sebagai laki-laki menyedihkan bagi lingkungan sekeliling.”

Butuh beberapa saat sampai ia bisa melanjutkan ucapannya.

“Sayangnya, ketika aku kembali ke dunia nyata, faktanya Ayah adalah ayah kandungku.”

Syueb menjeda perkataannya dan mengatur napas lagi. “Sebenarnya aku sudah bosan memanggil Ayah dengan sebutan itu. Namun, aku akan tetap memanggil dengan kata Ayah. Jujur saja, aku tidak pernah menyukai Ayah. Mungkin sepanjang hidupku aku telah membenci Ayah dengan sangat dalam. Ayah pasti telah mengetahui ini. Sekarang, aku tidak lagi punya alasan untuk membenci Ayah setelah aku tahu bagaimana rasanya memikul beban jiwa yang berat. Mungkin dari awal aku tidak menyukai sikap Ayah yang seperti seorang penindas. Namun, setidaknya aku ingin dapat lebih memahami Ayah sekarang. Aku selalu ingin tahu kebenaran tentang Ibu yang pergi meninggalkan kita semua. Hanya itu saja. Jika Ayah ingin mengatakannya sekarang, tidak akan ada yang berubah. Aku masihlah anak kecil Ayah dan Ayah adalah satu-satunya ayahku di dunia ini. Aku akan senang jika Ayah jujur tentang semuanya.”

Ayahnya masih menatapnya dengan tatapan yang aneh. Kali ini Syueb melihat ada cahaya kecil yang berkilau jauh di dalam mata ayahnya yang sebelumnya tampak seperti sarang lebah madu kosong.

“Aku memang bukan siapa-siapa,” lanjut Syueb.

“Ayah benar tentang itu. Aku bagaikan seseorang yang dibuang ke samudra di malam hari, dan mengambang sendirian di permukaan lautan keputusasaan. Aku mencoba memanggil seseorang, tetapi tidak ada siapa pun yang menyahut. Aku tidak punya hubungan dengan apa pun kecuali dengan Ayah, kucingku dan wanita yang bunuh diri itu. Satu-satunya orang yang dapat kuanggap sebagai orangtua adalah Ayah. Tak ada yang menginginkanku dulu selain Ayah. Banyak orang yang berkawan denganku ketika mereka tahu aku cukup pintar. Ayah berbeda. Ayah menerimaku bahkan sebelum aku dapat berpikir. Orang-orang hanya mengingingkanku ketika aku bisa berpikir. Mereka mengabaikanku ketika aku hanya tahu menangis, merengek, makan, berak dan kencing. Ayah adalah pahlawan bagiku dan adik-adikku yang tak pernah dapat balasan yang setimpal. Jika Ayah mewariskan kepadaku kehilangan dan kekosongan, akan kuterima semua itu. Sebaiknya, jujurlah Ayah! Mati dan hidup sama saja bagiku sekarang  ini. Jika Ayah jujur, aku akan mati dengan tenang dan Ayah tak perlu lagi tertekan oleh kenyataan yang Ayah sembunyikan dengan alasan tertentu,” lanjut Syueb dengan mata yang berkaca-kaca.

“Sayangnya Ayah sepertinya lebih memilih untuk menyembunyikan sebuah rahasia dariku. Sementara itu ingatan Ayah semakin memburuk, dan sedikit demi sedikit ingatan tentang diriku juga ikut terhapus. Aku bukanlah siapa-siapa, dan tidak akan pernah menjadi siapa pun. Mungkin benar, Ayah tak pantas disebut sebagai orangtua yang baik, tetapi Ayah telah mendidikku dengan cara Ayah sendiri.”

“Kegigihan dalam menagih setoran nasabah adalah modal yang paling berharga,” balas ayahnya dengan nada datar, tetapi suaranya terdengar lebih pelan daripada sebelumnya, seolah seseorang telah menurunkan volume suaranya dengan menekan sebuah tombol di bagian belakang kepala. “Setoran adalah aset bank yang harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya, dan digunakan dengan sangat hati-hati. Dan karena alasan itu pulalah Bank Rakyat membantu memberikan dana pembiayaan usaha dan kredit dengan bunga di bawah 10%.”

Syueb dengan cepat menginterupsi ucapan ayahnya, “Orang seperti apa Ibu? Kemana dia pergi? Apa yang terjadi dengannya?”

Ayahnya segera bungkam dan bibirnya tertutup rapat tak menanggapi pertanyaan Syueb.

Sadar dengan perubahan sikap ayahnya, Syueb lanjut berkata dengan nada yang lebih halus, “Ada dua buah ingatan yang selalu terlintas di benakku. Kurasa itu adalah ingatan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu aku tak tahu umurku berapa. Namun, dua ingatan itu sangat jelas. Ingatan pertama, aku melihat Ibu memasak di dapur. Ingatan kedua, aku melihatnya pergi dengan membawa tas besar. Yang kuingat dari Ibu hanya lehernya saja. Lehernya saat di dapur dan lehernya saat membuka pintu rumah—kemudian pergi dan tak kembali. Lehernya jenjang. Aku tak ingat wajahnya atau ingat senyumannya. Namun, aku tahu itu Ibu.”

Ayahnya tetap bungkam, tetapi matanya jelas sedang melihat sesuatu—sebuah objek abstrak yang tidak ada di ruangan ini.

Syueb putus asa dan berpikir untuk menanyakannya lain kali saja—kalau tak jadi bunuh diri sepulang dari Sanitarium. Ia menarik napas dalam-dalam dan keluar dari kamar ayahnya untuk menghirup angin segar. Entah ingatan yang buruk atau ketakjujuran ayahnya, ia merasa pasti salah satunya adalah sebab mengapa ayahnya belum mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun, ia tak dapat meluapkan kekesalannya kepada ayahnya yang memiliki ingatan yang kacau. Ia memutuskan kembali masuk ke kamar ayahnya dengan wajah yang datar dan memulai obrolan lain.

“Bisakah kau membacakan sesuatu untuk Ayah?” tanya ayahnya dengan nada resmi setelah diam agak lama. “Seorang perempuan bernama Pawestri datang mengunjungi Ayah baru-baru ini. Ayah sangat menyenangi cerita-cerita yang ia bacakan. Mata Ayah telah sangat tak bersahabat sampai-sampai Ayah tidak lagi dapat mengeja apa pun meski Ayah sangat ingin membaca. Ada banyak buku di dalam rak di sana. Pilih yang mana saja kalau kau mau. Kali ini saja.”

Syueb tertegun lama bertanya-tanya bagaimana ingatan ayahnya dapat kembali seketika. Awalnya ia ingin mengulang pertanyaannya tadi, tetapi ia urungkan niatnya. Syueb merasa tak perlu memaksa ayahnya yang sedang dalam kondisi tidak stabil.

Ia berdiri dan memandangi buku yang ada di rak dekat kasur baring. Kebanyakan buku-buku di sana adalah novel dan buku sejarah yang berlatar belakang zaman gerombolan sedang memberontak ke Republik. Ayahnya senang dibacakan buku sejarah atau novel lama mungkin karena ayahnya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri masa yang  mencekam itu.

“Perempuan bernama Pawestri?” tanya Syueb dengan kening mengerut saat mengingat nama wanita yang disebut ayahnya beberapa kali. “Maksud Ayah, Pawestri itu dokter atau terapis yang sering datang kemari dan membacakan buku-buku atau novel-novel dengan latar zaman gerombolan?”

“Bukan. Pawestri bukan dokter atau perawat.”

“Lalu, dia siapa?”

“Dia perempuan yang baik.”

“Ayah hanya berhalusinasi.”

“Tidak. Dia nyata. Tunggulah saatnya. Ayah cukup yakin kalian akan bertemu di suatu tempat, entah kapan.”

Syueb tidak ingin meladeni ayahnya yang sepertinya sedang berhalusinasi. Barangkali, Ayah menciptakan sosok tak nyata bernama Pawestri untuk mengatasi kesendiriannya selama di Sanitarium, batin Syueb.

Puluhan buku-buku di rak itu kertasnya telah berwarna kecokelatan. Beberapa buku yang ia buka bahkan tak memiliki sampul lagi.

Lama mencari, Syueb tidak menemukan satu pun buku ejaan baru. Ia tidak lancar membaca buku dengan ejaan yang belum disempurnakan. Apalagi, ia tak punya banyak waktu untuk beradaptasi.

“Aku tak sedang dalam keadaan baik untuk membacakan buku ejaan lama. Jika ayah mau, aku akan membacakan cerita tentang kucing yang menghilang dari dunia,” ujar Syueb.  “Aku membawa bukunya. ”

“Cerita tentang kucing yang menghilang dari dunia,” ulang ayahnya. “Kucing memang sering muncul dan lenyap dengan tiba-tiba. Mereka adalah hewan yang cara matinya misterius. Dan yang sangat aneh, Ayah tidak pernah melihat ada dua atau lebih kucing tertabrak motor di jalanan. Yang tertabrak motor pasti hanya satu dalam satu waktu. Ayah merasa, kucing-kucing itu mengajarkan bahwa cepat atau lambat setiap makhluk memang berakhir sendirian.” Mata ayahnya bersinar. Syueb seperti menemukan ayahnya yang dulu, ayahnya yang selalu semangat saat menceritakan pengalaman.

“Betul Ayah mau dibacakan cerita tentang kucing yang menghilang dari dunia?” tanya ulang Syueb, memastikan.

“Jika kau tidak keberatan, tolong cepat bacakan itu untuk Ayah. ”

Syueb melihat jam tangan sebentar. “Keberatan? Tentu tidak. Masih ada waktu beberapa jam sebelum mobil rentalku datang, tapi cerita tentang kucing ini tergolong aneh. Aku tidak tahu apakah Ayah akan menyukainya atau tidak.”

Syueb mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca dengan pelan. Suaranya terdengar jelas. Ia memandang wajah ayahnya di sela-sela jeda membaca, tetapi wajah ayahnya tidak menunjukkan reaksi suka atau tidak suka. Ayahnya memang tak pernah dapat ditebak.

 

 

1.

 

Setelah mengetahui wanita yang dicintainya berhasil bunuh diri, Syueb berencana menyusul dengan terlebih dahulu memikirkan cara mati versinya sendiri. Ia tidak mau menabrakkan tubuh ke bus yang melaju kencang seperti yang dilakukan wanita itu, hingga nama dan fotonya terpampang di koran berhari-hari. Ia hanya ingin menghilang dari dunia begitu saja—tanpa bekas dan jejak. Itulah sebenarnya cara mati yang paling ia inginkan, dengan demikian, ia tak akan merepotkan siapa pun dan mayatnya tak akan menambah sesak pekuburan Kota Makassar.

Namun, setelah ia pikir-pikir lagi, ia sadar tak mungkin melanggar hukum kekekalan. Tak ada benda yang dapat lenyap tanpa sisa. Kayu yang dibakar tak betul-betul menghilang. Ia hanya beralih bentuk menjadi abu. Kalaupun abu dibakar dengan perangkat canggih sampai tak tersisa sebutir pun, abu itu hanya berganti wujud menjadi sesuatu tak kasat mata yang menyatu dengan udara. Begitulah aturan alam. Meski demikian, Syueb berkeras mewujudkan apa yang diinginkannya, atau paling  tidak sedikit mendekati keinginannya.

Sepertinya aku tak akan mungkin menghilang dari dunia begitu saja—tanpa bekas dan jejak. Akan lebih masuk akal kalau mayatku dimakan oleh kucingku yang kelaparan. Sedikit demi sedikit. Hingga hanya tersisa tulang. Aku tak mau membusuk di kuburan dan dikunyah bakteri pengurai yang tak mengenalku. Aku ingin mayatku jadi makanan yang mengenyangkan perut peliharaanku sendiri, batin Syueb.

Ia tak ingin membuang-buang waktu. Ia segera merancang tahap demi tahap bunuh dirinya dengan penuh pertimbangan.

Setengah jam kemudian, Syueb akhirnya merampungkan tujuh langkah yang harus ia lakukan agar rencananya berhasil:

1. Ia akan menutup semua ruang-ruang kecil dan ventilasi udara dengan lakban dan akan merekatkan lakban itu berlapis agar tak ada bau apa pun yang tembus keluar dari rumah kontrakannya.

2. Ia akan membuang seluruh makanan kucingnya dan hanya akan menyisakan beberapa bungkus.

3. Beberapa bungkus makanan kucing itu akan dilarutkan kedalam air di bak mandi. Supaya cepat larut secara merata, ia akan aduk dengan tangan.

4. Ia akan berendam di bak penuh larutan itu selama beberapa jam sampai kulitnya berbau makanan kucing.

5. Ia akan memanggil…. BACA SELENGKAPNYA NOVEL INI DENGAN MEMESAN VIA        

-WA admin Unsa Press 082111094238

-FP Penerbit Unsa Press

-Via komentar web unsapress

Leave a Reply