REUNI – Nostalgia Kata-kata
REUNI – Nostalgia Kata-kata
50 Penulis – 50 Cerpen
xxvii + 517 halaman
14 x 21 cm
HARD COVER
Harga Normal – 165,000
Harga PO – 130,000
(s.d. 15 Agustus 2020)
Pemesanan via WA 085274244342
Mengapa buku ini spesial?
Selain memuat 50 cerpen dari 50 penulis dalam buku setebal lebih dari 500 halaman, naskah-naskah yang terangkum dalam antologi ini juga merupakan naskah-naskah para pemenang lomba menulis yang dikumpulkan sejak 10 tahun terakhir.
Lomba Menulis Cerpen Bersama Uda Agus secara rutin digelar sejak tahun 2011. Setiap tahunnya ajang itu telah melahirkan sebuah antologi pemenang lomba. Sekitar 180 naskah cerpen telah dibukukan sejak tahun 2011 hingga 2020. Lalu naskah-naskah itu kemudian dikerucutkan menjadi 50 naskah terbaik yang pada akhirnya melahirkan sebuah album cerita pendek pilihan yang akan segera dicetak pertengahan Agustus ini, Reuni – Nostalgia Kata-kata.
***
Saya bahagia membaca semua kisah dalam koleksi ini. Bagaimanapun, setiap cerita yang baik akan mudah dinikmati. Tidak akan membuang waktu secara percuma. Banyak gagasan yang memutari kepala saya selama berhari-hari terakhir. Beberapa gagasan, secara intrisik, sebenarnya sama, namun mampu dikisahkan dengan cara berbeda, dan masuk dalam koleksi ini secara elegan. Dalam satu dasawarsa, menurut saya, koleksi 50 cerita pendek dalam koleksi ini adalah terbaik untuk dibaca. Baik sekali mengetahui banyaknya gagasan yang bermunculan secara elegan untuk merespon banyak masalah di sekitar penulis —atau masyarakat. Cerpen yang bagus memang sulit ditandingi —tetapi lebih sulit dituliskan (Ilham Q. Moehiddin)
Cinta itu sesuatu yang butuh diungkapkan serta dibuktikan, dan Uda Agus telah membuktikan cintanya kepada dunia kepenulisan melalui buku 10 tahun pemenang LMCBUA. Buku ini memuat karya-karya terbaik yang sarat makna, menjadi gambaran bahwa ajang lomba cerpen ini dengan konsisten telah menebar manfaat untuk para penulis muda khususnya, dalam mengasah kemampuan menulis mereka dari tahun ke tahun, sehingga tidak mustahil penulis sastra terbaik masa depan adalah penulis yang pada awalnya selalu mengikuti ajang lomba menulis LMCBUA. Sebuah dedikasi untuk dunia literasi yang membanggakan. Salut! (Dang Aji, Founder Komunitas Unsa).
“Menjadi bagian dari antologi cerpen Uda Agus membuka tingkap-tingkap energi untuk berkarya ke langit-langit imajinasi.” (Bambang Kariyawan Ys, Riau)
“Banyak komunitas yang mengadakan event lomba menulis, tapi tidak banyak yang berhasil mengadakan selama 10 tahun. Uda Agus adalah salah satu penggerak Literasi yang berhasil melaksanakan lomba menulis cerpen selama 10 tahun.” (Azwar Sutan Malaka, Jakarta)
“Menarik dan mengesankan, bertahan di tengah gempuran penggoda untuk menjauhkan anak muda dari minat baca dan tulis. Fokus pada bidang cerpen, sebuah bidang yang mengulik sedikit tentang gemuruh kompleksitas kehidupan manusia. Salut buat Uda Agus yang telah 10 kali membuat Lomba Menulis Bersama Uda Agus (LMBUA). Nama Uda Agus insyaallah akan dikenang sebagai penulis yang selalu ingin berkontribusi baik terhadap kemajuan negeri, terutama bidang sastra.” (Rizky Kurnia Rahman, Bombana – Sulawesi Tenggara)
***
Lalu siapa saja yang berkontribusi dalam antologi spesial ini? Berikut cuplikan 13 buah naskah cerpen yang termaktub di dalam antologi Reuni, Nostalgia Kata-kata ini.
Aku tidak suka dengan tamumu yang baru saja pergi. Kalau kau dulu menikah, mungkin orang itu seumuran cucumu. Omongannya tinggi seolah hanya dia yang mengerti. Dan, kau hanya manggut-manggut dan sesekali mengernyitkan dahi. Aku tidak tahu bagaimana bisa kau begitu sabar menghadapi orang seperti itu. Omongannya terlihat cerdas, tapi unggah-ungguhnya tidak berbekas. Datang dan pergi hanya mengucap salam, tanpa salaman, apalagi mencium tanganmu yang sudah keriput. (Aku dan Mbak Jio – Riswandi)
Di tengah kerumunan ibu-ibu dan pemuka adat menghias tanganku dengan daun pacar, sesungguhnya hatiku sedang berguncang hebat. Begitu menyesakkan, berbaur perih juga pedih. Aku tahu itu kedengarannya konyol. Seharusnya aku berbahagia. Ini acaraku. Pestaku. Saat-saat ini aku diistimewakan bak seorang ratu. Tanganku dihias; begitu cantik. Melihatnya, siapapun pastilah suka lalu akan memujiku. Sebab warnanya hidup, cerah. Konon, ini melambangkan kecerahan hidupku di masa mendatang. Namun, bagiku semua itu rasanya tetap percuma. Aku tidak bahagia. Tepatnya aku tidak bisa merasa bahagia bila besok harus di-akad-nikah-kan dengan Umar, seorang laki-laki penuh wibawa, putra asli tanah Bima yang juga masih mewarisi darah ncuhi. (Aku yang Tidak Berbahagia di Hari Bahagiaku – Aksa Ahmad)
“Ini tahun ketiga setelah hari kematian ibu, juga kegagalanku dalam seleksi fakultas kedokteran dan Ayah masih saja memaksaku untuk melakukan apa yang Ayah mau. Bahkan selama tiga tahun ini aku sudah melakukan segalanya sebagai kata maaf. Aku bangun setiap pagi dan berakhir di dapur, menyiapkan teh, makanan dan semua kebutuhan Ayah. Aku yang mengelap tiap debu di rumah ini karena aku tahu Ayah membencinya. Aku bahkan tetap bersabar dengan apapun yang Ayah ucapkan. Aku tak peduli makian Ayah, meski Ayah bilang aku kutu.” (Akulah Kutu di Kepala Ayah – Bela Azania)
Kata ibu, aku punya kembaran. Kembaran yang hilang, lenyap bahkan sebelum ia berwujud janin. Ia yang mungkin tak sempat dibentuk Tuhan dari tanah liat hingga membentuk segumpal daging. Ia yang tak sempat bertengkar denganku di rahim ibu, dan akhirnya tak pernah keluar dari kemaluan ibu, sepertiku. Kata ibu, ia kini menjadi anak mallajang(1), yang serupa jin, atau mungkin buaya. (Anak Mallajang – Justang Zealotous)
Kepulan asap hitam pekat masih membubung tinggi, keluar dari pori-pori kulit kepala Sonia. Embusan angin yang dihasilkan kipas angin pun tidak mampu mengurai benda gas berbau bangkai itu. Saking baunya, tidak ada lalat yang sudi mendekat. Sementara itu, Sonia lebih memilih tak acuh sambil duduk selonjoran di dipan reyot. Disandarkan kepalanya ke tembok, seolah-olah tubuh layunya yang tinggal kulit dan belulang, tidak lagi sanggup menopang. Sepasang mata hitam Sonia—tanpa pijar harapan—menatap kosong ke sebuah pintu, saksi bisu atas lika-liku rumah tangganya. (Baobab yang Tumbuh di Tubuh Sonia – Jae Kho)
Aku diam. Aku lebih suka memelihara kata-kata hanya bergerombol di tenggorokan. Bagiku diam adalah emas. Apalagi bicara bisa jadi akan menambah luka bagi siapa saja yang sedang kubicarakan. Jadi akan lebih baik aku diam. Topik yang mereka bicarakan tetap saja sama setiap harinya. Tetap mengenai bu guru yang memiliki senyuman yang angker. Teman-teman sekelasku itu tak jemu menggelar keluhan panjang. Tetap keluhan yang ditujukan pada orang yang sama di setiap harinya. Tetap pada bu guru yang memiliki senyuman yang angker itu. Luti Kusmandhari, demikian namanya. Kami sepakat memanggilnya Bu Luti. Tak jarang mulut-mulut yang lancang dari sebagian teman-temanku memanggilnya BULUTIKUS. Ya, sebutan itu berasal dari nama Bu Luti yang ditambah dengan nama belakangnya yang dipenggal setengah. Bu Luti Kus. Terdengar menggelikan, tapi aku enggan membiarkan suaraku mengambang di udara dengan memanggilnya demikian. (Diam – Happy Rose)
Maka pada hari ke-40 itu, kau berjalan ke ruang tengah, tempat sanak saudara bergumul dalam doa dan nama Tuhan. Dengan sebilah pisau di tangan, tanpa ada yang menyadari. Hanya sekelebat pandangan, kau nobatkan hari itu sebagai hari ke-40 anak-istrimu dan hari pertama dari ketiadaanmu. Kau sudahi pertolonganmu tanpa ada yang bisa menolongmu. Kau tamat. (Hari ke-40 – Atissa Puti)
“Andai aku punya mesin cuci,” desah Hamida dalam benaknya ketika menyadari kucekannya yang melelahkan itu belumlah sebuah akhir dari seember besar cuciannya—ia masih harus membilas lalu menjemur dan meyetrika pakaian-pakaian itu esok hari. “Andai suamiku masih di sini,” racaunya yang lain saat ia mengangkat seember besar cucian lalu merasa pegal luar biasa pada punggung dan pinggangnya. “Atau setidaknya, bolehlah ada lelaki lain yang bersedia meminangku datang kemari. Dimadu juga boleh,” racaunya lagi saat menaruh seember besar cucian lalu mendengar gemertak dari punggung dan pinggangnya. Pegalnya semakin menjadi. Linu. “Tapi, kalau bisa, sih, jadi istri pertama,” matanya kuyu, lalu Hamida duduk menjongkok dengan segera menopangkan wajahnya pada setangkup dua telapak tangannya. Matanya basah. Ia menangis. Hamida menangis. Hampir terisak, tapi anehnya ia segera tertawa kecil, yang jika orang lain melihatnya tanpa tahu apa yang menimpa Hamida, orang itu pasti meyakini bahwa Hamida sudah tidak waras. Dengan nada mencemooh, Hamida berujar, “Kalau benar bakal kejadian seperti itu, saat itu pasti langit sedang terbelah!” (Janda Hamida dan Langit yang Terbelah – Listian Nova)
Aku terempas ke kesadaran tanpa peringatan. Rasanya seolah ditendang ke luar oleh Dewa Mimpi karena tidak memiliki kartu identitas di sana. Nyaris saja Zen mengecupku seandainya kami tak kepergok. Lain kali harus kupilih mimpi yang lebih sepi. Kubuka mata, lalu menutupnya kembali dan membukanya lagi, tak ada perbedaan. Yang kutahu cinta memang membutakan, tapi mimpi, apa iya? Terpaksa aku harus menggerayangi sekeliling demi menjangkau lampu tidur di atas nakas. Mimpi berdua dengan Zen nampaknya membuatku tak sadar telah bergulung-gulung tak beraturan. Entah kini aku membujur ke arah mana. (Klandestin – Izar Razhman)
Mencintai peri? Mati dibunuh peri? Saya tidak habis pikir, masih dangkal sekali orang berpikir. Bapak mencintai keluarga. Bukan keluarga peri, tapi kami. Bapak mati kena penyakit, bukan karena dibunuh peri. Yang mencabut nyawa bapak itu malaikat, yang diutus Tuhan. Masih ngeyel? Saya kaget ketika berita kematian bapak ada di surat kabar. Padahal bapak bukan pejabat, politikus, presiden, lurah, atau pahlawan. Bapak saya orang biasa-biasa saja. Bapak saya hidup normal, dia punya penyakit. Berita kematian bapak di koran itu membuat kami sekeluarga tidak lagi menangisi kepergian bapak, tetapi menjadi marah pada penulis berita. (Matinya Lelaki yang Mencintai Peri – Fauzia Maghfiroh)
Ialah perempuan bersyal merah yang akhir-akhir ini mencuri perhatian saya. Sejak satu bulan ini, saya sering melihatnya di alun-alun. Saya sering memperhatikan ia dari jauh. Ya, kadang-kadang saya mendekat juga, sih. Karena saya, boleh dibilang, tertarik dengannya. Senyumnya manis, meski ia amat jarang tersenyum dan tatapannya sinis. Ada tahi lalat di pipi kanannya yang ikut bergerak tiap ia bicara pada orang lain. Bagi saya, perempuan itu memancarkan aura yang beda. (Perempuan Bersyal Merah – Intan Andaru)
Perempuan berusia 45 tahun itu memasukkan dua sendok bubuk kopi ke dalam cangkir keramik putih bermotif bunga tulip. Tak lupa ia menambahkan setengah sendok gula pasir, sesuai takaran yang diyakininya mampu menyuguhi tenggorokannya dengan cita rasa yang khas. Kemudian ia menuangkan air panas dari dalam teko yang baru saja diangkatnya dari atas kompor. Sesaat setelah air panas itu bersenggama dengan bubuk campuran kopi dan gula, akan menguar aroma yang telah menjadi candu bagi perempuan lampai itu. Kemudian ia akan mengaduk isi gelas yang kini pekat, dengan pelan, sambil terus menikmati aroma yang terbawa oleh kepulan asap tipis di permukaannya. Selanjutnya mencicipi seseruput, dan pasti diakhiri dengan senyuman. Bersama senyum yang bertahan itu, ia akan melangkah ke serambi, membawa serta secangkir kopi yang baru diseduhnya. Ia akan menikmati suasana pagi di sana, seperti ratusan, atau mungkin ribuan, atau entah berapa banyak hari sebelumnya. (Perempuan yang Membalut Lukanya dengan Kopi – Ansar Siri)
Meli tidak mau pulang jika hantu di rumahnya belum diusir. Meli jongkok di depan halte dan orang-orang memandanginya. Mama, setelah menunduk malu kepada setiap orang, mencubiti tangan Meli agar mau naik taksi untuk pulang. Mama menoleh ke sana ke mari dan tak enak ke semua orang. Karena capek, Mama kembali duduk, tidak peduli Meli yang mulai menangis dan masih dalam posisi jongkok di sampingnya. Semalam Meli didatangi hantu tanpa kepala. Ia sudah bilang pada Mama, itu bukan mimpi. Aku bisa melihat darahnya menetes satu-satu dari lubang di lehernya, dan tetes darah itu mengotori ubin! Meli mengatakan itu sambil terisak-isak, tidak mau ke kamar mandi karena katanya hantu tersebut berendam di jacuzzi. (Perjalanan Pulang yang Tak Terlupakan – Ken Hanggara)
Masih ada 37 naskah menarik lainnya.
SELENGKAPNYA BISA DIBACA DALAM ANTOLOGI REUNI – NOSTALGIA KATA-KATA DENGAN MEMESAN VIA
WA 085274244342 atau bisa hubungi langsung para penulisnya
1. Agil Hp
2. Aksa Ahmad
3. Alfian N. Budiarto
4. Ansar Siri
5. Arinda Shafa
6. Aswary Agansya
7. Atissa Puti
8. Azwar Sutan Malaka
9. Bambang Kariyawan Ys
10. Bela Azania
11. De Eka Putrakha
12. Dodi Prananda
13. Ede Tea
14. Fauzia Maghfiroh
15. Fitriani Umar
16. Halimah Banani
17. Happy Rose
18. Hesti Daisy
19. Ikhwanus Sobirin
20. Ilham Fauzi
21. Intan Andaru
22. Izar Razhman
23. Jae Kho
24. Justang Zealotous
25. Kartika Hidayati
26. Ken Hanggara
27. Lambertus Hermawan
28. Linda Tanjung
29. Listian Nova
30. Mareza Sutan Ahli Jannah
31. Matahari
32. Melanie Dewata
33. Nachita
34. Nafisah
35. Ragiel JP
36. Ripo Mht
37. Riswandi
38. Rizki Ananda Putri
39. Rizky Kurnia Rahman
40. Rizky Kurniawan
41. Rokhmat Gioramadita
42. Sabrina Lasama
43. Sam Edy Yuswanto
44. Siska Yuniati
45. T. Fathimah
46. Uda Agus
47. Ulfa Fatmala
48. Wika G. Wulandari
49. Yulfia Afaz, S.Pd
50. Zian Armie Wahyufi