[FREE CHAPTER] CANAI BY PANJI SUKMA

Kupersembahkan untuk kakekku yang memilih terbuang ketimbang mendiamkan kesalahan

 La Historia Me Absolvera

 “Sejarah akan menyelamatkanmu”

-Fidel Castro

 

 

Canai

(Pemenang Novel Pilihan Unsa 2019)

Penulis
Panji Sukma

Seleksi Naskah
Tim UNSA

Editor
Dangaji

Desain Sampul & Tata Letak
Wirasatriaji

Cetakan Pertama Mei 2019

Penerbit UNSApress
Email: unsaku27@yahoo.com
Fanspage: Penerbit UNSA Press
x + 173 hlm. ; 13,5 cm x 20 cm
ISBN : 978-623-90658-0-5

 

 

1984

Bara sesekali menggangguk sembari terus dengan saksama mendengarkan cerita kakeknya. Wajahnya semakin tampak menegang karena cerita memasuki babak serius ketika pasukan kakeknya disandera oleh kawanan begal.

Kakek Bara bercerita bahwa pada saat itu dia seorang Letnan Kolonel dengan tanda pangkat dua melati di bahunya. Dia memimpin pasukan truk guna mengirim logistik dari pelabuhan ke pusat kota di Irian Barat. Jalur yang harus di lewati adalah jalan hutan tanpa penerangan dan sama sekali tak ada yang melintas pada malam hari. Sebab ketika malam hari, pembegalan banyak terjadi di jalur itu, seperti yang menimpa kakek Bara dan pasukannya. Mencurigakan memang jika melihat perawakan dan senjata yang dipakai para begal itu, mereka memegang senapan laras panjang yang jenisnya sama dengan pasukan kakek Bara. Hal itu semakin menguatkan rumor tentang pasukan militer yang pada siang berjaga di jalur utama menuju kota, beralih profesi menjadi begal ketika malam. Tentu kakek Bara dapat dengan mudah mengetahui bahwa para perampok itu sebenarnya adalah tentara, cukup dengan melihat cara mereka menggiring dan mengikat kakek Bara dan anak buahnya, standar pelatihan yang diajarkan di pendidikan militer. Kakek Bara dan pasukannya disekap di sebuah ruangan usai semua senjatanya dilucuti. Si pimpinan begal yang berperawakan tegap dan berambut cepak, tampak memainkan belati dengan tangan kanannya sambil memberi komando agar anak buahnya keluar dari ruangan. Dia menginterogasi kakek Bara perihal apa saja isi truk, tentu dengan nada mengintimidasi. Tapi ada yang luput dari perhatiannya, dia tidak tahu bahwa tangan kakek Bara sedang mencoba memutus tali ikatan di pergelangan tangannya, dengan silet kecil yang memang sengaja disimpan di saku khusus.

“Waktu talinya putus, Kakek langsung menendang belati pengkhianat negara itu dan menguncinya sampai tidak bisa bergerak.”

“Lalu bagaimana, Kek? Langsung Kakek tusuk?” tanya Bara di sela cerita kakeknya.

“Kakek suruh dia lepaskan ikatan tali pasukan Kakek, lalu menyuruh dia berakting seolah Kakek adalah teman lama saat di depan anak buahnya. Tentu saja dengan todongan belati di perutnya, tapi Kakek tutupi topi.”

“Mantap. Lalu?”

Kakek Bara melanjutkan ceritanya. Dia keluar ruangan sembari berangkulan dengan pimpinan begal. Sandiwara pun terjadi sesuai rencana. Di depan anak buahnya, pimpinan begal memperkenalkan kakek Bara sebagai kawan yang lama tak jumpa, lalu meminta mereka mengembalikan semua senjata yang tadi telah dilucuti. Setelah semua pasukan kakek Bara kembali naik ke truk, kakek Bara mengajak pimpinan begal ikut naik ke truk. Namun terjadi perlawanan, hingga akhirya kakek Bara menendang dada pimpinan begal hingga terjungkal. Melihat kejadian itu, anak buah sang pimpinan begal mengarahkan senjata ke truk dan memberondong dengan tembakan. Namun truk lebih dulu melaju kencang. Tembakan pun dibalas pasukan kakek Bara dari atas truk. Karena kalah posisi, banyak begal yang terkena tembakan dan satu per satu tumbang. Dengan dingin kakek Bara membidik kepala pimpinan begal yang masih tersungkur di tanah.

“Kakek masih ingat suara peluru Kakek yang menembus batok kepalanya.”

“Beruntung sekali Kakek bisa selamat dari kejadian itu.”

“Ternyata satu orang pasukan Kakek gugur karena berondongan mereka. Di atas bak truk, sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir, Kakek sempat membisikkan bahwa dia adalah pahlawan bangsa, jangan menyesal dengan kematian demi kibar merah putih di bumi cendrawasih,” kata kakek Bara menutup cerita dan membuat cucunya menarik napas panjang.

Usai mencium tangan kakeknya, Bara berpamitan untuk berangkat kuliah. Kakek menitip salam untuk disampaikan pada ibu Bara, dia tak menitip salam pada ayah Bara karena dia tahu ayah Bara memang jarang di rumah.

“Berangkat hati-hati, Nang.”

Usai mencium tangan kakeknya, Bara berjalan meninggalkan ruang tamu, sekaligus meninggalkan lelaki tua yang kepalanya masih dipenuhi dengan kenangan akan kejayaan masa lalu itu. Bercerita pada Bara seakan terapi baginya agar tetap memiliki motivasi hidup. Dan ketika Bara pergi, yang bisa dia lakukan hanya melamun, sebab hanya cucu satu-satunya itu-lah yang selalu setia datang mengunjunginya setiap hari.

Sembari menyalakan rokok kretek, mata orang tua itu terus menatap langkah Bara keluar pintu. Bhre Sukma Lanang, nama yang dia berikan pada cucunya. Saat dia masih berada dalam tahanan. Sampai detik ini Bara tidak tahu jika nama itu berasal dari kakeknya. Perwira malang yang harus menjadi korban carut-marut perpindahan kekuasaan di tahun 1965. Dia dituduh pro komunis karena menjamin pembebasan adiknya dari tahanan yang memang salah seorang tokoh pergerakan komunis di lingkar ormas. Saat itu semua yang dianggap dekat dengan PKI dan dengan Orde Lama akan dituding sebagai antek komunis, tak sedikit pula para jenderal berbintang yang dituduh tanpa bukti, beberapa dari mereka yang memiliki pengaruh kuat diasingkan ke Pulau Buru. Mereka dipenjarakan tanpa pernah disidangkan, karena pro PKI memang hanya sebuah tuduhan pepesan kosong, sebuah siasat untuk menyingkirkan orang-orang yang berpotensi melawan pemerintahan yang baru. Namun masih beruntung kakek Bara tidak dikirim ke Pulau Buru, dia dipenjarakan di Salemba. Ketika mendengar menantunya tengah hamil, dia mengirim surat pada ayah Bara untuk memberi nama Bhre Sukma Lanang pada cucunya. Dia berharap dengan menyandang nama itu, cucunya akan tumbuh sebagai pemuda yang jantan, berwatak bersih, dan selalu membela kebenaran. Meski di lingkungan dan sekolah cucunya lebih akrab dipanggil Bara, tentu diambil dari nama depannya, Bhre. Nama Bara muncul karena kesulitan teman-teman Bara menyebutkan nama Bhre. Bahkan nama Bara lebih melekat sampai kini dia kuliah. Sedangkan di lingkungan keluarga besarnya, pemuda itu di panggil Lanang.

###

Mendung seolah memberi tanda kemarau panjang telah berakhir. Beberapa mahasiswi yang turun dari angkot berombongan pun tampak telah membawa payung. Tentu mereka hanya berjaga, karena banyak dari mereka yang rumahnya cukup jauh, bahkan tak sedikit yang harus naik turun berganti kendaraan umum untuk sampai ke kampus. Tentu saja mereka tak rela jika dandanan rapinya rusak apabila hujan tiba-tiba turun. Hiruk-pikuk mahasiswa semakin ramai dari tahun ke tahun, terlebih karena semakin banyak dibuka jurusan-jurusan baru, seperti magnet yang menarik calon mahasiswa dari berbagai penjuru negeri. Mereka yang memiliki asal-usul berbeda, tentu merasa harus segera menyesuaikan dengan hal-hal yang sebelumnya telah ada di lingkungan kampus, terlebih dalam hal gaya dandanan. Kemeja panjang dengan tiga lipatan di lengan, celana cutbray seperti yang dikenakan artis-artis luar negeri, sepatu kickers mengkilap yang tentu selalu mereka gosok setiap pagi. Dan yang tak mungkin luput dari semua itu adalah gaya rambut gondrong tanggung, mungkin hampir separuh mahasiswa lelaki di kampus itu memilih gaya rambut yang tengah tren itu. Atau lebih tepatnya, The Beatles seakan masih menjadi nabi yang wajib ditiru dalam hal bergaya, meski sebenarnya era musik metal dengan gaya berpakaian slengekannya tengah booming di penjuru dunia. Tentu pengaruh Metallica dan beberapa band metal yang tengah naik daun beberapa tahun ini tidak bisa dipungkiri sebagai alasannya. Sedangkan para mahasiswi, mereka lebih variatif dalam berdandan, mungkin karena mereka mengikuti gaya artis idolanya masing-masing, baik artis lokal yang banyak terpampang di baliho pinggir jalan, atau artis-artis luar negeri yang sering bermain di film.

Semua tak lepas dari stigma yang sengaja mereka bangun sebagai orang terpelajar. Di awal tahun delapan puluhan, menjadi mahasiswa adalah perlambang kaum intelek, terlebih bisa diterima di kampus favorit macam Universitas Sebelas Maret. Meski tak sedikit pula dari mereka yang berkuliah hanya untuk mendapat status sosial di masyarakat. Banyak yang masuk dari jalur belakang, entah karena anak dari orang berkedudukan, ataupun karena anak orang berpunya. Tentu untuk dapat berkuliah, selain harus pintar, setidaknya harus dari keluarga menengah ke atas. Biaya kuliah tidaklah murah, terlebih untuk memenuhi kebutuhan di luar kegiatan belajar bagi mahasiswa dari luar luar kota.

Bara menempuh studi Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret. Kampus yang berdiri pada tahun 1974 saat delapan kampus di kota Solo bergabung, kala itu masih bernama Universitas Gabungan Surakarta (UGS). Hingga akhirnya, pemerintah meresmikan Universitas itu sekaligus mengganti namanya menjadi Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret. Tentu nama Sebelas Maret berhubungan dengan kepentingan politik kala itu, surat perihal perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru yang hingga saat ini menyimpan sejuta misteri dan telah melahirkan banyak pembahasan hingga tulisan yang membahas tentangnya. Dalam perjalanannya, Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret lebih dikenal sebagai UNS Sebelas Maret, dan kini akrab disapa UNS.

Bara adalah Ketua Senat Mahasiswa FISIP, sosoknya sangat kontroversial karena kekritisan dan aksi-aksi yang dia gelar. Dia memiliki banyak tato di balik pakaiannya, dengan rambut gondrong sebahu. Entah sudah berapa kali dia diperingatkan para dosen agar memotong rambutnya, tapi Bara beralasan jika dia mengikuti gaya rambut nabi. Jawaban yang selalu sama keluar dari Bara untuk mengatasi, “Nabi itu rambutnya 35 setimeter alias sebahu, Pak. Dan mengikuti Nabi itu sunah.” Alasan yang selalu membuat para dosen bingung untuk menjawab. Apalagi Bara adalah anak dari Doktor Mahesa, salah satu dosen paling disegani, jabatan wakil rektor pernah disandang. Ayah Bara adalah petinggi Fakultas Sastra UNS dan dia kini sedang menempuh studi di Universitas Indonesia untuk mendapat gelar Profesor. Doktor Mahesa salah satu tokoh paling berpengaruh di lingkungan dosen UNS, sebab selain mengajar sebagai dosen dan mantan wakil Rektor, dia juga tergabung dalam sembilan tim peneliti cagar budaya nasional. Kedekatan dengan pemerintah pusat membuatnya digadang-gadang mengisi kedudukan dirjen di kementerian pendidikan usai kelak telah mendapat gelar profesor.

Mendung semakin menebal ketika di sisi timur gedung Rektorat, Bara dan ketiga sahabatnya duduk sembari sibuk menggerutu di bawah pohon.

“Harusnya Rektor tahu jika kebijakannya membubarkan aksi kemarin adalah kesalahan fatal,” ucap Bakrie, sahabat Bara yang juga wakil ketua Senat Mahasiwa Universitas, sekaligus salah satu pentolan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di kampus.

“Sudah pasti ada intervensi dari pusat. Nyatanya, aksi damai buruh tiga hari yang lalu juga dibubarkan aparat. Bahkan beberapa Mahasiswa UMS yang dianggap memprovokasi di aksi itu ditangkap. Beruntung kamu Bar, hanya menginap semalam di koramil,” sahut Beno. Ketua Mapala Universitas itu menoleh pada Bara seolah menunggu respons darinya. “Heh, malah diam saja kamu,” lanjutnya.

“Hm, perasaan itu omonganku kemarin. Kalian malah mengulang lagi ke aku, wajar kalau bingung jawabnya,” timpal Bara sambil melempar batang korek kayu yang usai dipakai untuk menyalakan rokok, disusul tawa yang pecah dari tiga orang di depannya. Jika dibanding yang lain, Bara tampak yang paling berbeda, terlebih dalam berpakaian. Bara hanya mengenakan kaos hitam bertulis Ozzy Osbourne dan celana jeans ketat dengan sobekan di lutut, jauh dari kesan rapi.

“Iya, kalian tidak kreatif. Huuu,” timpal Anggun, teman sekelas Bara di jurusan komunikasi. Bisa dibilang, Anggun salah satu mahasiswi terkaya di lingkungan kampus. Dia anak pengusaha roti ternama di Solo, saat ini belum ada perusahaan roti lain yang mampu menyaingi perusahaan ayahnya.

“Iya, bela saja terus Mas Bara-mu. Kita-kita sudah hafal. Ya kan, Ben?” celetuk Bakrie sembari mendorongkan bahunya ke bahu Beno. Anggun hanya menjawab dengan melempar muka dan memanyunkan bibirnya.

“Sudah-sudah, narasi yang tidak berfaedah, tidak mengubah dunia dan tidak menjadikan kita Walisongo,” tungkas Bara yang memang selalu berbicara dengan gaya khas. Tak jarang kalimat yang keluar dari mulut Bara  membuat sahabat-sahabatnya harus berpikir sejenak untuk dapat mengerti. Hal itu pula yang membuat kehadiran Bara selalu ditunggu, karena dianggap selalu dapat menghidupkan suasana, baik saat bersama ketiga sahabatnya itu, atau di lingkungan teman-temannya yang lain. Meski sebenarnya, dibalik sosok Bara yang humoris, dia adalah pemuda yang sangat dewasa dan tegas, terlebih saat berada di sebuah forum. Tak jarang Bara dimintai tolong mahasiswa di lain fakultas untuk menyelesaikan masalah di lingkungan kampus.

Sebenarnya Bakrie dan Beno sudah tahu bahwa Anggun menyukai Bara, sejak awal perkuliahan dulu hal itu sudah tercium, bahkan bukan lagi rahasia umum. Anggun selalu hadir dalam acara-acara pergerakan mahasiswa, demonstrasi, dan bakti sosial yang diadakan Bara dan kawan-kawannya. Meski hanya dibilang ikut-ikutan agar bisa selalu dekat dengan Bara, namun keberadaan Anggun memang banyak bermanfaat. Tak jarang Anggun memberi sumbangan yang tak sedikit, entah berupa konsumsi dari perusahaan roti ayahnya, atau uang untuk membeli ini itu dalam jalannya kegiatan. Meski sering mendapat perhatian lebih dari Anggun, Bara tetap memperlakukan Anggun dengan biasa, layaknya teman-teman yang lain. Bara memang tidak pernah berpacaran atau sekadar memiliki kedekatan lebih dengan perempuan, setidaknya saat di lingkungan kampus.

“Pak Rektor sudah berangkat ke luar kota, Mas Bara. Baru saja saya cek ke ruangannya,” ucap dengan sopan petugas rektorat karena dia tahu jika Bara adalah anak dari Doktor Mahesa. Dia muncul tiba-tiba tanpa Bara sadari sebelumnya.

“Lo Pak, kemarin kami sudah buat janji ketemu jam dua siang ini,” sahut Bakrie dengan nada tinggi sembari mematikan rokok.

“Waduh, kemarin saya juga sudah menyampaikan ke Pak Rektor, tapi ya bagaimana ya, ternyata malah ke luar kota, Mas.”

“Cuk,” gumam Bakrie lirih.

Petugas rektorat pun kembali masuk ke dalam gedung. Bara dan ketiga sahabatnya tampak saling memandangi satu sama lain.

“Bar, kamu telepon ayahmu sana, bilang kalau Rektor harus lebih tertib ketimbang mahasiswanya,” ucap Beno dengan maksud sengaja menyindir Bara, tentu karena dia tahu jika ayah Bara disegani di lingkungan pejabat kampus.

Bara hanya menjawab dengan mengacungkan jari tengahnya hingga kembali mengundang tawa tiga orang di depannya.

“Sudah-sudah, ayo ke kantin, aku lapar,” ajak Anggun setengah merengek manja.

“Ditraktir kan, Juragan?” tanya Bakrie dan Beno dengan bersamaan dan penuh semangat. Bara hanya tersenyum melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

“Iya iya, gampang,” pungkas Anggun.

###

Kedatangan Bara, Bakrie, Beno dan Anggun, menyita perhatian mahasiswa lain yang telah dulu berada di kantin. Tentu saja aksi demo buruh yang mereka gelar kemarin di depan kampus, membuat mereka jadi buah bibir di seantero sudut kampus setelah dibubarkan paksa oleh aparat. Memang kemarin suasana sempat menegang hingga melumpuhkan pintu utama kampus bahkan melebar ke jalan di depan kampus, kemacetan parah pun tak terhindarkan. Apa lagi saat melihat banyak mahasiswa yang jatuh karena didorong blokade aparat, Bara langsung naik ke podium sambil memerintahkan dengan megaphone untuk membalas dengan lemparan batu. Bentrokan fisik pun tak terhindarkan hingga membuat para mahasiswa terdesak dan berlari masuk ke dalam kampus, gas air mata membuat keadaan semakin tidak terkendali. Dan pagi ini, foto saat Bara digiring polisi beredar di surat kabar lokal, tentu hal itu semakin menjadikannya buah bibir. Terlebih dalam foto, Bara tampak bertelanjang dada dengan tubuh penuh tato. Bisa dibilang seluruh badan bagian atas Bara dipenuhi tato dan hanya menyisakan bagian siku hingga telapak tangannya.

Stigma buruk tentang tato berawal sejak awal delapan puluhan, orang-orang bertato menjadi incaran pemerintah karena dianggap simbol premanisme. Bahkan pemerintah membentuk tim khusus yang bersifat senyap dalam aksinya untuk memberantas preman bertato. Melihat mayat preman tergeletak di pinggir jalan setiap pagi dengan tangan ditali dan luka tembak adalah pemandangan biasa. Maka, tak jarang para preman menghapus tatonya dengan menyetrika, dan bersembunyi ke pelosok untuk menghilangkan jejak. Kebijakan pemerintah yang cukup sembrono, menghilangkan tirani dengan menciptakan tirani baru.

Bara dan ketiga sahabatnya memilih duduk di meja sudut kantin. Bakrie dan Beno tampak merasa tidak nyaman dengan lirikan dari beberapa mahasiswa yang bergerombol di meja sisi timur, sedangkan Bara dan Anggun tampak tidak peduli dengan situasi di kantin siang itu.

“Wah ada pahlawan kampus, pembela rakyat miskin yang tertindas, tapi hobi membuat gaduh,” celetuk salah satu mahasiswa dalam obrolannya yang seakan sengaja agar didengar Bara.

“Jancuk! Harus kuberi pelajaran,” ucap Bakrie yang memang emosional, watak keras yang dia bawa dari Surabaya memang tidak bisa diubah. Namun saat Bakrie hendak berdiri, Bara menahan dengan memegang tangan Bakrie.

“Sudah, biar aku saja,” ucap Bara sembari beranjak lalu menghampiri sumber sindiran.

Bara kini berdiri tepat di depan gerombolan mahasiswa itu, sejenak dia melihat ke wajah mereka satu per satu. Mereka tampak bingung dengan maksud Bara. Lalu Bara mengangkat kaki kanan dan menaruhnya di kursi, tepat di antara selangkangan salah satu dari mereka. Suasana seketika menegang, semua mata tertuju pada kejadian itu, namun tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Bara memegang kerah baju mahasiswa itu dengan sedikit menariknya ke atas.

“Kamu mau pesan makanan apa? Biar sekalian aku ambilkan,” tanya Bara dengan nada santai sambil tersenyum. Senyuman yang tentu tak wajar dalam situasi seperti itu hingga sulit untuk digambarkan. Suasana semakin menegang dan membuat semua orang yang menyaksikan menerka-nerka apa yang akan dilakukan Bara.

“Tii … tii … tidak, Mas,” ucap mahasiswa yang kerah bajunya digenggam Bara dengan terbata-bata.

“Serius tidak mau titip? Aku yang bayar.”

“Tii … tidak, Mas.”

“Baiklah,” ucap Bara sembari melepaskan genggaman lalu berjalan kembali menuju mejanya.

“Dasar anak dosen,” gumam dari salah satu dari mereka yang ternyata didengar Bara.

Tiba-tiba Bara berbalik badan dan berlari sambil memukul wajah orang itu hingga terjungkal dari kursi.

“Heh banci, apa maksudmu?” Bara kembali melayangkan tiga pukulan. “Kalau masih kurang, ayo kita cari tempat di luar kampus,” lanjutnya.

Melihat sahabatnya tidak bisa mengontrol diri, Bakrie dan Beno berlari untuk melerainya,  mereka menarik badan Bara yang posisinya berada di atas badan mahasiswa itu. Suasana berubah menjadi sangat gaduh, semua orang di sana tampak berdiri dan beberapa membantu untuk melerai. Tak kalah teriakan ibu kantin yang semakin menambah gaduh suasana, “Sudah Mas Bara, sudaaahhh!” Melihat Bara telah dipegang beberapa orang, gerombolan mahasiswa tadi bergegas pergi dengan berlari keluar kantin.

“Sudah Bar, kamu itu kenapa sih selalu begini!!!” teriak Anggun sembari menggenggam tangan Bara yang mengepal.

“Iya-iya, hahaha, aku hanya akting,” ucap Bara sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia meminta Bakrie dan Beno melepaskan pegangannya, lalu berjalan menghampiri ibu kantin. “Bu, pesan nasi goreng telur satu, lomboknya setengah saja seperti biasa.” Bara mengeluarkan uang dan memberikan beberapa lembar pada ibu kantin. “Ini untuk bayar jajanan orang-orang tadi,” lanjutnya. Pemandangan yang aneh bagi siapa pun yang melihat kejadian itu, karena cepat sekali perubahan Bara dari emosi dan kini sudah tampak seperti biasa.

Mereka berempat kembali duduk di tempat semula seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ketiga sahabat Bara sudah hafal jika pemuda itu memang tidak suka bila disangkut-pautkan dengan ayahnya saat di lingkungan kampus. Meski sebenarnya Bara orang yang sangat supel, santai, dan humoris, namun untuk beberapa hal yang bersifat prinsip dia tak suka bertele-tele dan kompromi. Mungkin karena itu-lah Bara cukup disegani, bahkan di lingkungan Senat Mahasiswa sekalipun.

“Jadi kita harus bagaimana?” tanya Beno mengembalikan topik pembicaraan seperti saat di rektorat.

“Besok kamu bisa mengumpulkan semua anggota Senat Mahasiswa? Aku takut kalau kasus PHK buruh besar-besaran itu tidak segera menemui titik temu, akan ada aksi yang digelar sendiri oleh para buruh dan berujung anarkis. Kita harus selalu dampingi mereka, kupikir kita harus menghubungi beberapa alumni yang kini ada di LBH,” jawab Bara panjang lebar.

“Aku usahakan. Biar nanti kusebar ke semua pimpinan Senat Fakultas.”

“Baguslah.” Ucap Bara sembari melihat ke ketiga sahabatnya. “Kita akan buat siasat, biar nanti aku minta saran Pak Arya,” lanjutnya.

###

“Tengoklah Ayahmu. Apa kamu tidak kangen?” tanya ibu Bara dengan suara yang lembut sembari memotongi dahan-dahan kering tanaman hias koleksinya.

Pagi yang berkabut hingga hawa dingin dapat Bara rasakan, dia tampak menikmati saat kabut berarakan itu menerpa tubuhnya. Jarak kota Solo yang tak sebegitu jauh dari lereng gunung Lawu, membuat kota itu acap kali mendapat kiriman kabut, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh kali dalam setahun. Terlebih jika malam sebelumnya turun hujan, kabut tebal akan terbentuk bahkan sejak tengah malam, dan jarak pandang bisa hanya akan tiga atau empat meter pada saat Subuh. Dan saat itu terjadi, beberapa orang yang berangkat kerja atau berangkat ke sekolah, akan menundanya hingga jarak pandang dirasa cukup aman untuk berkendara.

“Iya, kapan-kapan.” Jawab Bara sembari melempar senyum, lalu dia kembali melanjutkan mengikat tali sepatunya.

“Selalu begitu jawabanmu. Kamu kan bisa sekalian berlibur kalau tengok ayahmu di Jakarta.”

“Iya, iya,” ucap Bara diiringi senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.

Bara tampak mempercepat gerak jemarinya dalam mengikat sepatu, sepertinya dia tidak nyaman dengan permintaan ibunya. Sudah hampir tiga tahun ini ayah Bara berada di Jakarta untuk merampungkan gelar profesornya, selama itu hanya empat kali ayahnya pulang, di saat lebaran dan libur Natal. Namun bukan karena ayahnya jarang pulang yang membuat Bara merasa berjarak, tapi Bara melihat ayahnya terlalu dekat dengan pemerintah yang sekarang berkuasa. Tak jarang rumahnya kedatangan tamu penting seperti pejabat, elit politik, para jenderal pusat, bahkan beberapa menteri. Kerap Bara melihat ayahnya menerima amplop tebal dari mereka, itu juga yang membuat dia selalu memilih pergi saat ayahnya kedatangan tamu-tamu itu. Tentu uang yang diberikan pada ayah Bara tidak dengan cuma-cuma. Sebagai akademisi, ayahnya sering diminta sebagai tim ahli uji kelayakan untuk program-progam Orde Baru yang akan dijalankan. Program yang kebanyakan hanya digunakan untuk menguras anggaran negara dan sangat tidak memihak pada rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan telah mendarah daging pada hampir semua struktur birokrasi negara, seperti sistem yang tak mungkin lagi diputus mata rantainya. Tentu Bara sangat paham tentang semua itu, sebab kuliahnya di ilmu sosial politik tidak hanya dia gunakan untuk sekadar terlihat terpelajar, namun karena memang didasari keinginannya mengubah borok-borok negeri ini. Pemandangan di rumahnya sangat mendasari niatnya itu. Hal itu pula yang membuat ironi baginya, dia merasa kuliah dan seluruh kebutuhan hidupnya dibiayai dari hasil semacam itu. Namun dia tetap mencoba membatasi dengan tidak pernah meminta uang di luar untuk kebutuhan kuliah.

###

Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk Bara sampai di rumah kakeknya. Rumah yang hanya dihuni oleh kakeknya dan Yu Jami. Yu Jami bekerja di sana sebagai pembantu rumah tangga atas permintaan ayah Bara. Sebenarnya Yu Jami bukan orang lain, sebab dia masih punya hubungan kerabat jauh dengan Bara, hanya saja nasibnya kurang mujur, terlebih dalam urusan ekonomi semenjak ditinggal mati suaminya dan harus menghidupi dua anak.

“Kakek di mana, Yu?” tanya Bara karena tidak menjumpai Kakek di kursi goyang tempatnya biasa duduk.

“Eh, Mas Lanang, tumben hari ini datangnya pagi sekali. Kakek di teras belakang,” jawab Yu Jami sembari menerima bungkusan plastik berisi apel yang disodorkan Bara.

“Oh. Ini tolong dikupas, Yu.”

Di teras belakang, kakek Bara duduk di risban sembari tampak dengan serius memasukkan jagung kering ke dalam kandang burung perkutut, tangan kirinya menutup celah pintu agar burung itu tak menerobos keluar. Mungkin hal yang sebenarnya mudah itu tidak lagi mudah dilakukan kakeknya di umur yang sekarang. Bara menghampiri lalu melayangkan ciuman di kening kakeknya. Tanpa bicara, dia langsung menggantikan kakeknya untuk memberi makan burung.

“Lanang sudah siap mendengar cerita lanjutan yang kemarin, Kek.”

“Cerita yang mana, Nang? Kakek lupa.”

“Hm, kakek sekarang semakin sering lupa. Itu, cerita yang di Irian  Barat. Pasti menang ya? Kalau di buku sejarah kan menang.”

“Oh iya, waktu dibegal ya?”

“Nah itu, bagaimana lanjutannya, Kek?”

Sebelum memulai ceritanya, ia meminta tolong untuk menaruh kembali kandang burung ke tempat semula dengan cara mengereknya dengan tali, sampai kandang burung itu bergantung di ujung atas.

Kakek Bara menyamankan posisi duduknya, matanya menerawang ke atas sebelum kembali melanjutkan cerita pengalaman masa lampaunya yang kemarin belum sempat ia selesaikan. “Seandainya saat itu Kakek tidak menyelamatkan Harto, pasti presiden Indonesia sekarang bukan dia,” ucapnya mengawali cerita. Kala itu Jenderal Soeharto memimpin pasukan pembebasan Irian Barat sekaligus menjadi atasan Kakek. Ketika menyeberang dari kapal induk menuju pantai dengan perahu karet, mereka diberondong tembakan oleh pasukan dari udara. Secara refleks Kakek melindungi atasannya itu dengan cara menggunakan badan sebagai tameng hidup. Alhasil sebuah peluru bersarang di paha Kakek. Ia bercerita jika sangat beruntung dapat selamat dari ke jadian itu, sebab beberapa pasukan tewas di atas perahu karet yang tak lama kemudian tenggelam itu.

Kakek menunjukkan bekas luka tembakan yang didapatnya dulu pada Bara. Membuat Bara sontak kembali tersadar,  jika negara ini didirikan dan dipertahankan dengan darah dan nyawa para pejuang. Buku-buku sejarah yang selama ini dia baca, terasa seakan tak ada apa-apanya jika dibanding cerita langsung dari pelaku aslinya, apa lagi pelaku itu adalah kakeknya sendiri. Cerita berlanjut, Bara terus mendengarkan dengan saksama, sesekali wajahnya tampak mendongak seolah sedang menerawang jauh. Sampailah di babak akhir cerita, perihal kepulangan kakek Bara yang disambut nenek Bara di Bandara Halim Perdana Kusuma. Cerita Kakek yang sangat detail membuat Bara seolah ikut merasakan romantika itu, detik-detik pertemuan kakek dan neneknya yang saat  itu masih cukup muda. Kakek juga bercerita kalau saat itu ayah Bara masih sangat kecil, wajahnya mirip dengan Bara ketika kecil.

“Oh iya, Kek, kenapa Kakek tidak tinggal di rumahku saja? Kan ada Ibu yang bisa merawat Kakek,” tanya Bara tiba-tiba. Karena sebenarnya hal itu sudah lama mengganjal di kepalanya, bahkan sejak kecil. Namun selama ini hanya dijawab Kakek dengan alasan takut merepotkan.

“Sepertinya sudah saatnya kamu tahu.”

“Tahu apa, Kek?” tanya Bara dengan serius sembari memantapkan posisi duduknya.

“Saat Kakek di dalam penjara, negara ini banyak berubah.”

Kakek bercerita ketika ayah Bara masih muda dan mendaftar sebagai calon dosen, hampir saja ayah Bara ditolak padahal sudah lulus semua tes dan ujian hanya karena mendapat cap sebagai anak dari tahanan PKI. Karena itu Kakek memilih mengalah dan menjaga jarak dengan ayah Bara usai keluar dari penjara agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Kakek tidak ingin merusak masa depan anaknya dengan mewariskan label keturunan PKI. Di era Orde Baru semua hal yang berbau komunis akan dikebiri hak-haknya. Hal yang sangat ironis, di saat negara telah dikatakan merdeka, namun tidak ada yang berani benar-benar bersuara tentang ketidakadilan yang ada.

Bara terus mendengar penjelasan kakeknya dengan sangat serius. Bara tampak mengepalkan tangannya seolah tidak menerima dengan fakta perihal keluarganya yang kini dia tahu. Seorang yang mengabdi pada negara malah harus dikorbankan. Melihat cara bicara kekeknya, Bara bisa menangkap jika kakeknya adalah orang yang sangat mumpuni dan terpelajar. Apalagi Kakek melanjutkan cerita perihal dirinya yang pernah di sekolahkan oleh Bung Karno di Rusia selama dua tahun. Ketika kakek Bara pulang dari Rusia, banyak teman-temannya yang melanjutkan studi, tapi konflik terlanjur pecah di tahun 65, mereka yang dianggap pro Soekarno tidak boleh pulang dan ditarik kewarganegaraannya.

“Syukurlah, sekarang ayahmu sudah jadi orang yang sukses. Kasihan dia saat muda dulu, harus susah karena kakekmu ini. Saat muda, ayahmu mirip sepertimu, dia juga …” ucap kakek yang dipotong Bara sebelum selesai. “Kalau aku jadi dia, lebih baih hidup miskin daripada mengorbankan Kakek.”

“Jangan begitu, Nang. Situasi saat itu jauh berbeda dengan sekarang, kamu tidak akan mengerti dan berjalan tidak sesederhana cerita kakekmu ini. Kakek masih hidup saja sudah sangat beruntung.” Kakek Bara terus memberi nasihat sembari mengelus punggung Bara.

“Tapi kan sekarang keadaan sudah berbeda, Kek. Lebih baik Kakek tinggal di rumahku saja.”

“Kakek sudah terlanjur kerasan di sini, dan di sini juga lebih tenang, Kakek juga tidak bisa mengurusi burung-burung perkutut Kakek kalau harus pindah ke rumahmu.”

Mendapat jawaban seperti itu, Bara hanya memandangi wajah kakeknya yang tersenyum kecil. Bara perlahan coba menangkap hal yang berat pernah kakeknya lalui. Tentu hukum di zaman itu tidak seperti sekarang, entah apa yang dilakukan pada Kakek saat dia di dalam penjara. Setidaknya Kakek seorang perwira militer, tentu hukuman dan perlakuan padanya berbeda ketimbang tahanan biasa, yang pasti sesuatu yang membuat Kakek tidak akan berbicara banyak saat telah keluar. Ya, menanamkan tirani.

Tentu kejadian yang akhir-akhir ini banyak terjadi pun berhubungan dengan rezim yang tengah berkuasa. Orang-orang tergeletak mati di pinggir jalan setiap pagi dengan tangan terikat di dalam karung. Tentu  satu tembakan bersarang yang menjadi alasan kematian seketika tidaklah dilakukan orang-orang sembarangan, pastilah peluru itu di arahkan ke organ vital oleh yang sudah terlatih. Media bungkam, ketakutan yang ditebar telah ditangkap oleh masyarakat sebagai pesan untuk jangan macam-macam dengan rezim. Kembali, itu pula alasan Bara mengambil studi di sosial politik, dia ingin memperbaiki keadaan yang ada, setidaknya dia harus mengerti tentang kebenaran, dan tidak sudi menjadi bagian dari kesalahan yang terlanjur terasa sebagai hal lumrah. Seperti kata pepatah tentang mendiamkan kesalahan adalah kejahatan. Diam tentu bukan pilihan saat media bungkam. Entah sudah berapa kali Bara mengadakan demo bersama mahasiswa dan sebagian Senat Mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, terlebih dalam perampasan HAM. Meski tak sedikit pula Mahasiswa dan beberapa pimpinan Senat Fakultas yang menentang keras aksi itu. Mayoritas, mereka mahasiswa dari Fakultas Kedokteran dan  Fakultas Ilmu Pendidikan. Terlebih beberapa organisasi mahasiswa yang berbasis Islam, tidak mendukung aksi Bara dan teman-temannya. Mereka berpikir jika lebih baik dipimpin oleh rezim otoriter ketimbang dipimpin rezim komunis. Bisa dibilang ada dua kubu besar yang berselisih dalam menyikapi keadaan ini. Bahkan tidak hanya mahasiswa, para dosen pun ikut serta dalam perpecahan di kampus. Seperti Pak Arya, dia salah satu penggerak aksi-aksi yang digelar Bara dan kawan-kawan. Umur yang terhitung muda untuk ukuran dosen, tentu sangat memengaruhi semangatnya yang masih berapi-api dalam pergerakan bawah tanah kampus. Tak jarang dia membantu menyiapkan segala yang dibutuhkan saat aksi, setidaknya dia yang selalu memintakan izin pada Rektor untuk mahasiswanya menggelar aksi di wilayah kampus. Dia mentor yang sangat memengaruhi Bara dan kawan-kawan, sering pula menyampaikan informasi terbaru mengenai pemerintahan, jauh sebelum media memuatnya. Tentu pekerjaannya sebagai dosen memiliki jalur sendiri untuk mendapat info kelas satu. Hal itu pula yang membuat tak sedikit dosen yang dekat dengan pemerintah tidak menyukainya, termasuk ayah Bara. Lucu memang menyikapi fakta yang ada. Tentu perkara level, Pak Arya dan ayah Bara berbeda kelas. Pak Arya hanya dosen S2 yang mengajar di Fakultas Pertanian, sedangkan ayah Bara adalah petinggi kampus dan pernah menjabat sebagai wakil rektor. Perbedaan kelas itu-lah yang membuat ayah Bara merasa tidak harus berinteraksi secara langsung untuk mendebat Pak Arya di depan mahasiswa atau dosen. Namun secara diam-diam, ayah Bara pernah memperingatkan Pak Arya untuk tidak  mendoktrin anaknya dengan narasi-narasi perlawanan yang mengatasnamakan pergerakan mahasiswa, atau Pak Arya akan dimutasi untuk mengajar di luar Jawa, ancaman tidak main-main yang keluar dari orang berpengaruh di kampus.

###

“Mahasiswa adalah garda depan perubahan bangsa. Menjadi mahasiswa berarti menggeleng pada kekuasaan. Kita adalah canai, batu asah yang siap menggosok permata agar bersinar ke seantero dunia, sekaligus siap menggerinda apa pun yang menggerogoti nama besar Indonesia yang dahulu telah Soekarno titipkan. Dan aksi yang akan kembali kita gelar adalah wujud nyata perjuangan, buruh adalah bagian dari wajah Indonesia yang harus mendapatkan hak-haknya. Tak ada artinya mimpi besar jika kita tak acuh pada hal-hal di sekitar, mahasiswa harus memiliki kepekaan dan tak boleh bersembunyi di balik buku-buku tebal pelajaran.”

Suasana memanas ketika Zoel berdiri dari kursi, dia menunjuk-nunjuk ke arah Bakrie yang sedang menyampaikan gagasan di podium untuk kembali menggelar aksi bela buruh.

Sentimen antara keduanya sudah banyak diketahui mahasiswa, karena sebelumnya mereka memang sering berdebat dan berselisih paham saat sidang Senat Mahasiswa. Atau lebih tepatnya, sentimen antara wakil ketua Senat Mahasiswa Universitas sekaligus pentolan HMI kampus yang selalu menyuarakan perubahan, dan Ketua Senat Fakultas Kedokteran yang merasa selalu realistis dalam melihat permasalahan saat menyampaikan gagasan di setiap forum. Zoel bukan orang sembarangan, sudah bukan rahasia umum jika di luar kampus dia terlibat dalam kepartaian, tentu partai bentukan rezim yang saat ini berkuasa. Tak heran jika dia begitu berani dan ditakuti, bisa dibilang semua mahasiswa Fakultas Kedokteran berada di bawah komandonya. Bahkan sebagian besar mahasiswa dan organisasi di Fakultas Ilmu Pendidikan pun memilih berada di kubu Zoel. Tak sedikit pula anggota HMI yang secara struktur ada di bawah Bakrie, malah mendukung ide dan gagasan Zoel tentang menyikapi rezim. Tentu dengan narasi yang dia bentuk, lebih baik dipimpin rezim otoriter ketimbang dipimpin antek-antek ateis. Hal itu pula yang membuat di tubuh HMI terbelah menjadi dua kubu. Mereka yang tetap mendukung Bakrie selalu hadir dalam aksi-aksi, sedangkan yang mulai condong dengan pemikiran Zoel memilih untuk tidak ikut dalam aksi-aksi yang diinisiasi Bakrie.

Bara hanya duduk mengamati perdebatan yang semakin gaduh hingga membuat para dosen undangan meninggalkan tempat duduk. Namun  kegaduhan itu mulai surut saat semua mata melihat kedatangan sekitar tiga puluh mahasiswa  Fakultas Teknik masuk dari pintu utama. Tentu saja terasa tak biasa, selama ini mahasiswa Teknik tak pernah mau hadir dalam agenda-agenda seperti ini, bisa dibilang mereka tidak tertarik. Mereka adalah mahasiswa yang memang dalam perkuliahannya dicetak untuk menjadi lulusan siap kerja. Dibanding mahasiswa yang lain, penampilan mereka pun paling berbeda, dengan selalu berpakaian rapi, rambut cepak, dan mayoritas bertubuh tegap. Sampai akhirnya tahun ini ada jurusan baru di Fakultas Teknik, jurusan arsitektur. Jurusan yang langsung menjadi primadona. Tentu dengan wacana pembangunan besar-besaran yang dijalankan oleh pemerintah, pastilah membutuhkan banyak orang-orang mumpuni di bidang itu. Perhatian Bara tertuju pada mahasiswi yang berjalan paling depan, perempuan itu bermata sipit dan berkulit putih. Cara jalannya tegap seolah tak sedang membelah lautan mahasiswa yang sebelumnya telah ada di sana, dia juga tampak memasang wajah tak bersahabat.

“Kenapa, Bar? Cantik?” tanya Beno karena melihat tatapan yang tak biasa dari sahabatnya.

“Itu siapa?” tanya balik Bara.

“Itu Meutia Liem, wakil ketua Senat Mahasiswa Teknik yang baru.”

“Oh. Mukanya judes ya? Jadi ingat guru matematikaku dulu.”

“Akhir-akhir ini dia jadi bahan omongan, karena selain galak, dia juga ceplas-ceplos. Semenjak ada dia, mahasiswa Teknik kini mulai aktif bersuara. Syukur-syukur kalau mereka bisa bergabung dengan kita.”

Beno juga menjelaskan bahwa Liem adalah anak kontraktor yang saat ini mengerjakan hampir separuh proyek pembangunan di Solo. Tentu dari namanya, Bara sudah paham Liem warga keturunan Tionghoa. Bahkan dari kabar yang didengar Beno, ketua Senat Mahasiswa akan segera mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan pada Liem dalam waktu dekat. Liem menjadi tokoh baru yang sangat sentral di lingkungan Teknik. Dan tidak bisa dipungkiri, selain pandai, parasnya yang cantik tentu bisa menjadi alasan yang membuat mahasiswa lain dengan mudah menyetujui gagasan-gagasan Liem.

“Dia satu SMA denganku, tapi dulu kami tidak akrab, beda kelas juga,” timpal Anggun yang ternyata sedari tadi menguping. “Kenapa? Cantik? Jangan harap bisa dekat dengannya, dia galak setengah mati,” lanjutnya.

“Hm, ngawur. Aku hanya penasaran, biasanya agenda seperti ini mahasiswa teknik tidak pernah mau datang,”

Kedatangan para mahasiswa teknik itu, ternyata juga juga dibarengi kedatangan beberapa wartawan. Jika dilihat dari seragam yang dipakai, para wartawan itu berasal dari Bengawan Post dan beberapa koran lokal lainnya. Kegaduhan tiba-tiba senyap ketika rombongan mahasiswa Teknik yang baru datang langsung naik ke podium untuk meminta waktu dan tempat. Bakrie dengan wajah yang tampak kebingungan karena kedatangan mereka, memberikan microphone pada Liem, sebelumnya Liem sempat mengucapkan sesuatu pada Bakrie.

Kini podium sepenuhnya dikuasai oleh Senat Mahasiswa Teknik. Bakrie pun turun dan kembali duduk di samping Bara. Saat dia hendak mengatakan sesuatu pada Bara, kode tangan Bara untuk diam membuat dia membatalkan niatnya. “Coba kita dengar, apa yang mau dikatakan perempuan itu,” ucap Bara.

“Mau sampai kapan debat kusir? Mahasiswa yang lain sudah lelah melihat hal seperti ini,” ucap Liem membuat seisi gedung bertanya-tanya. Tak sedikit dari mereka saling berbisik dan saling bertanya tentang siapa perempuan itu.

“Jika ingin membuat perubahan, internal kalian harus kompak terlebih dulu, jangan seperti ini karena hanya buang-buang waktu. Silakan lanjutkan menyampaikan gagasan dengan dewasa. Saya sudah membawa wartawan, agar suara mahasiswa yang katanya diisi orang-orang terdidik bisa didengar di luar sebagai contoh baik, tidak hanya membuat gaduh dan tidak membuat perubahan apa-apa,” lanjut Liem. Ucapan Liem itu membuat seisi gedung menjadi gaduh. Ada yang meneriakkan setuju dan ada pula di beberapa sudut yang menyorakinya.

Liem dan teman-temannya turun dari podium dan ikut duduk bersama para mahasiwa yang lain. Namun perdebatan tetap saja terjadi, terlebih saat giliran Zoel naik podium dan mencoba memprovokasi mahasiswa agar tidak lagi mengadakan aksi di kampus ataupun di luar kampus. Dia menyampaikan, lebih baik mahasiswa tidak disibukkan dengan hal-hal macam itu, lebih baik fokus dengan studi dan dapat lulus tepat waktu, sehingga ketika lulus ilmu yang didapat bisa bermanfaat bagi masyarakat. Dua kubu mahasiswa kembali menegang dan saling menyoraki satu sama lain. Hal itu membuat Liem dan para mahasiswa teknik berdiri dari kursi sekaligus memilih untuk meninggalkan forum, mereka merasa kedatangannya sia-sia karena ternyata tidak ada perubahan dalam jalannya diskusi. Bahkan kepergian mereka juga diikuti beberapa mahasiwa lain, kini hampir seperempat gedung menjadi kosong.

“Bar, kenapa kamu hanya diam saja dari tadi!” teriak Bakrie yang mulai terbawa emosi karena kebungkaman Bara.

“Iya, cepat kamu naik podium,” timpal Anggun karena merasa lelaki yang dia sukai itu tampak tak seperti biasanya.

“Kupikir perempuan itu benar. Terlalu banyak kepala di sini, panggung perubahan memang bukan di sini. Sepertinya aku harus bicara dengannya.”

Ketiga sahabat Bara hanya memandangi Bara dengan wajah heran, karena merasa mendengar jawaban aneh yang keluar, tak seperti biasanya Bara seperti itu.

“Ayo kita pergi,” ucap Bara sembari berdiri dan meninggalkan kursinya.

 

 

2014

“Jawaban dari semua pertanyaan yang tak bisa kamu jawab adalah waktu.”

Entah kenapa aku mengucapkan kalimat itu padanya, seolah ada yang menggiring dan mewajibkanku untuk menyampaikannya. Mungkin pula ini babak baru dalam lakuku sebagai seorang ayah, di mana pertama kali kulihat anak lelaki kesayanganku kini sedang benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis. Terlebih dari cerita Astu, hubungan mereka tak direstui oleh orangtua Elda, dan lucunya aku seperti tidak tahu harus berbuat apa. Gugur sudah titel pendidikanku yang berderet, materi yang aku tumpuk, dan pengalaman luas yang kumiliki ini. Ternyata menjadi seorang ayah tak sesederhana yang aku pikirkan. Bahkan aku tidak tahu harus memulai dari mana kalaupun aku ingin membantu, aku hanya bisa berpesan pada Astu untuk tetap menjaga harga diri sebagai seorang lelaki, dan jangan mau direndahkan.

Kadang aku heran dengan diriku sendiri, dulu aku benci ayahku karena dia sangat jarang di rumah, tidak pernah memiliki waktu bersama keluarga, mementingkan pekerjaannya. Dan hal itu membuatku dulu berjanji untuk tidak akan menjadi orangtua seperti itu, tapi kini ternyata janji itu tidak bisa aku tepati. Rasa bersalahku semakin menjadi ketika aku menemukan fakta, yaitu dengan menerima perlakuan yang sama, aku dulu sangat membenci ayahku, sedangkan Astu tidak pernah membenciku, bahkan dia sangat menyayangiku.

“Kenapa, Mas? Kok melamun?” tanya Meutia tiba-tiba usai mengantarkan Astu dan Elda hingga ke halaman. Meutia mengajakku duduk di kursi teras dan menawari untuk dibuatkan teh hangat, tapi aku menolaknya.

“Sepertinya Elda itu gadis yang baik ya? Cantik pula. Astu memang pintar memilih jodoh, seperti ayahnya,” ucapku sembari mencubit dagu istriku.

“Ah kamu, Mas, gombalanmu sudah tidak mempan, aku sudah kebal.” Meski itu gombalan, aku tahu jika istriku tetap senang mendengarnya. Dan sebenarnya itu juga bukan sebuah gombalan, sebab dia memang cantik.

Di teras kami mengobrol banyak hal, yang jelas tentang ada hal apa saja yang terjadi selama aku sedang tidak di rumah. Juga perihal sekolah Mayang, anak bungsuku perempuan. Mendengar penjelasan dari Meutia, ternyata memang banyak sekali yang aku lewatkan. Apalagi ketika tahu bahwa Mayang kini telah menjadi perempuan dewasa, karena dua minggu lalu untuk pertama kalinya dia menstruasi. Meutia lupa untuk memberi tahuku, tapi memang sebenarnya aku yang salah karena jarang berada di rumah. Ayah yang egois dan tak becus.

Saat ini aku merasa benar-benar bisa merasakan apa yang dulu ayahku rasakan, perihal obsesi pada penelitian. Isi kepala hanya akan berisi dengan apa yang sedang diteliti, tidak akan berhenti dan fokus dengan hal itu sampai benar-benar mendapatkan fakta ilmiah. Dan parah, ketika telah berhasil menyelesaikan sebuah penelitian, aku akan memulai lagi dengan penelitian baru. Sungguh sebuah candu yang sangat sulit aku singkirkan, bahkan untuk sekadar aku kurangi.

“Kalau aku pensiun dini saja bagaimana?” celetuk tanya yang tiba-tiba keluar dariku.

“Hah? Kenapa, Mas?” Meutia tampak cukup kaget mendengarnya.

“Ya tidak apa-apa. Yang jelas agar bisa setiap hari dengan kalian. Lagi pula apa lagi yang mau aku cari. Mungkin setelah menyelesaikan buku penelitianku di Pinang Sendawar, aku bakal pensiun.”

“Hm, ya itu terserah Mas Lanang saja. Tapi sepertinya memang sudah saatnya kamu istirahat di  rumah,” ucap Meutia sembari meraih kepalaku untuk memburu uban. “Lagipula tabungan kita sepertinya juga sudah lebih dari cukup. Ehm, ruko dan beberapa petak tanah dari ayahku juga belum kita sentuh sama sekali, apa sebaiknya aku jual saja daripada tidak terurus?” lanjutnya bertanya.

“Jangan, nanti kalau aku sudah pensiun mau aku bangun stadion untuk latihan timnas, hahaha.”

“Hmmm, kamu Mas, nggak pernah berubah,” ucap Meutia sembari mencubit perutku yang kini mulai sedikit membuncit.

“Aduduh. Sakit, Sayang.” Melihatku meringis, Meutia tersenyum, dan sesaat kemudian mencium pipiku dengan lembut.

“Oh iya, besok pagi sebelum aku berangkat ke Kutai, bagaimana kalau kita nyekar ayahmu dulu?”

“Iya, sepertinya kita sudah lama tidak nyekar. Biar besok aku suruh Lek Parmin ikut buat bantu bersih-bersih di sana.”….. BACA SELENGKAPNYA NOVEL INI DENGAN MEMESAN VIA        

-WA admin Unsa Press 082111094238

-FP Penerbit Unsa Press

-Via komentar web unsapress

 

 

Leave a Reply